SEJARAH Mbah Idris dan
Mbah Amir
KATA PENGANTAR
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ
الرَّحِيْمِ ، اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ ، اَمَّا بَعْدُ :
Disebabkan adanya dorongan dari para zairin (peziarah) yang berziarah ke makam
Mbah Idris Lumpur Limbangan Losari Brebes dan Mbah Amir Pekalongan khususnya,
serta permintaan dari masyarakat luas pada umumnya yang ingin mengenal sejarah
hidup dan perjuangan keduanya maka kami berusaha menggali sejarah kedua tokoh
besar itu sesuai kemampuan kami.
Untuk maksud itu tentu saja kami harus berusaha menemui para sesepuh baik yang masih ada hubungan nasab dengan beliau maupun tidak, yang kami anggap mengetahui tentang biografi beliau guna pengumpulan bahan penulisan buku ini di samping bahan-bahan lain yang berasal dari buku sejarah ikhwan-ikhwannya, guru-gurunya, maupun murid-muridnya, baik yang tinggal di dalam negeri maupun yang di tanah suci Mekah. Buku ini kami beri judul “Manaqib Mbah Idris dan Mbah Amir”. Harapan kami semoga siapapun yang membaca buku ini, khususnya dari kalangan Dzuriyah (keturunan) beliau, dapat terketuk hatinya untuk bercermin dan bertauladan dari keilmuan dan akhlak beliau yang luhur itu, karena tanpa itu maka akan sia-sia saja membacanya. Penulis menyadari bahwa penulisan buku ini masih jauh dari sempurna dan tentu saja masih banyak pula menyimpan kelemahan. Oleh karena itu kami terus membuka kesempatan kepada pembaca terutama mereka yang memiliki tambahan catatan riwayat hidup beliau berdua, agar dengan ikhlas mau menghubungi penulis demi kesempurnaan buku ini pada cetakan berikutnya. Melalui kata pengantar ini pula kami sampaikan penghargaan serta ucapan terima kasih yang tulus kepada para kyai dan sesepuh yang telah memberi informasi penting seputar sejarah beliau, demi suksesnya penulisan buku ini. Mereka antara lain : 1. KH. Anas Mura’i (Cucu Mbah Idris) 2. Kyai Mahmud Dawud (Cucu Mbah Mas’ud) 3. Nyai Zubaidah Mura’i (Cucu Mbah Idris) 4. KH. Abdul Khaliq (Kalirahayu - Losari - Cirebon) 5. KH. Subuki bin KH. Syafi’i (Kalirahayu - Losari - Cirebon) 6. Kyai Muhyiddin (Mulyasari - Losari - Cirebon) 7. Ny. Hj. Rahmah binti Amir (Mundu - Cirebon) Dan lain-lain. Kepada mereka sekali lagi kami ucapkan jazahumullahu khaira. Lumpur, 1 Robi`ul Akhir 1433 H 24 Februari 2012 M *) Penyusun Manaqib “Mbah Idris & Mbah Amir”
Untuk maksud itu tentu saja kami harus berusaha menemui para sesepuh baik yang masih ada hubungan nasab dengan beliau maupun tidak, yang kami anggap mengetahui tentang biografi beliau guna pengumpulan bahan penulisan buku ini di samping bahan-bahan lain yang berasal dari buku sejarah ikhwan-ikhwannya, guru-gurunya, maupun murid-muridnya, baik yang tinggal di dalam negeri maupun yang di tanah suci Mekah. Buku ini kami beri judul “Manaqib Mbah Idris dan Mbah Amir”. Harapan kami semoga siapapun yang membaca buku ini, khususnya dari kalangan Dzuriyah (keturunan) beliau, dapat terketuk hatinya untuk bercermin dan bertauladan dari keilmuan dan akhlak beliau yang luhur itu, karena tanpa itu maka akan sia-sia saja membacanya. Penulis menyadari bahwa penulisan buku ini masih jauh dari sempurna dan tentu saja masih banyak pula menyimpan kelemahan. Oleh karena itu kami terus membuka kesempatan kepada pembaca terutama mereka yang memiliki tambahan catatan riwayat hidup beliau berdua, agar dengan ikhlas mau menghubungi penulis demi kesempurnaan buku ini pada cetakan berikutnya. Melalui kata pengantar ini pula kami sampaikan penghargaan serta ucapan terima kasih yang tulus kepada para kyai dan sesepuh yang telah memberi informasi penting seputar sejarah beliau, demi suksesnya penulisan buku ini. Mereka antara lain : 1. KH. Anas Mura’i (Cucu Mbah Idris) 2. Kyai Mahmud Dawud (Cucu Mbah Mas’ud) 3. Nyai Zubaidah Mura’i (Cucu Mbah Idris) 4. KH. Abdul Khaliq (Kalirahayu - Losari - Cirebon) 5. KH. Subuki bin KH. Syafi’i (Kalirahayu - Losari - Cirebon) 6. Kyai Muhyiddin (Mulyasari - Losari - Cirebon) 7. Ny. Hj. Rahmah binti Amir (Mundu - Cirebon) Dan lain-lain. Kepada mereka sekali lagi kami ucapkan jazahumullahu khaira. Lumpur, 1 Robi`ul Akhir 1433 H 24 Februari 2012 M *) Penyusun Manaqib “Mbah Idris & Mbah Amir”
ASAL USUL KAMPUNG
LUMPUR
Dahulu kampung ini
bernama Jatisari bukan Lumpur, lalu kenapa Lumpur? Adalah karena ketika
Pangeran Angka Wijaya atau yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Pulosaren
yang masih Dzuriyah (keturunan) Keraton Cirebon datang di Losari dengan maksud
berdakwah (mengajak umat beriman kepada Allah, beribadah dan berbudi pekerti
luhur), beliau terlebih dulu menebang hutan untuk membangun masjid, pesantren
dan rumah tinggal. Konon penebangan itu dimulai dari Losari, kala itu kota
Losari yang sekarang ramai ini belum banyak rumah, penduduknya masih sedikit,
masjid pun belum ada, yang ada baru di Prapag Kidul dan Lumpur, sehingga ketika
beliau istirahat dari melakukan aktivitasnya dan beliau hendak menunaikan
shalat, beliau harus menuju arah utara yaitu di kampung Lumpur, yang waktu itu
masih bernama Jatisari karena dari arah itulah beliau mendengar suara adzan
berkumandang. Setelah perjalanan sampai di masjid Lumpur yang waktu itu bangunannya
masih sederhana, lantainya masih pakai kayu papan dan di bawah lantai masih ada
longan. Beliau langsung bertanya kepada orang yang baru saja usai
menguman-dangkan adzan itu. Pangeran : “Hai Bapak, kampung ini apa namanya?”
Mu’adzin : “Ini Jatisari, Pangeran.” Pangeran : “Alah, kok bagus banget sih
namanya, kampungnya becek, banyak genangan airnya, lumpur melulu, namanya kok
Jatisari, ganti saja namanya Lumpur ya Pak! Setuju kan..?” Mulai saat itu nama
Jatisari menjadi sirna seakan tidak pernah ada. Kemudian nama Lumpur
berangsur-angsur dikenal orang sebagai ganti dari nama Jatisari sampai
sekarang. Menurut sebuah sumber, orang yang mengumandangkan adzan itu tidak
lain adalah Mbah Nasim, kakek dari Mbah idris sendiri yang kala itu sedang
menengok cucunya yang belum lama tinggal di kampung Lumpur dan belum lama pula
selesai membangun Masjid, Pesantren, dan rumah yang sekarang dihuni oleh cicit
Mbah Idris yaitu Saudara Umar bin Akyas
=--e
õ
f --=
KAMPUNG LUMPUR
Kampung Lumpur yang
terletak di dalam wilayah pemerintahan Desa Limbangan Kecamatan Losari
Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah lebih dikenal dengan sebutan kampung
Pesantren, sebab kampung yang berjarak 3 KM arah utara kota Losari (timur) itu
sarat dengan pendidikan islami, mulai dari TPA An-Nahdhiyah, TPA An-Nuriyah, TK
Roudhotul Athfal, TK Toledo, Madrasah Ibtidaiyah Darul Ulum, Madrasah
Ibtidaiyah Al-Ikhlas, Madrasah Tsanawiyah Darul Ulum, Madrasah Tsanawiyah
Al-Ikhlas, Madrasah Diniyah Al-Haddad, Madrasah Diniyah Al-Ikhlas, Majelis
Ta’lim Al-Haddad, Majelis Ta’lim An-Nafisah, dan Pondok Pesantren Yanbu`ul
`Ulum. Kampung ini juga kampung yang dianggap suci oleh masyarakat Kabupaten
Brebes karena di desa ini belum pernah ada hiburan-hiburan yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam bahkan musik dan tabuhan apapun tidak pernah ada di kampung
ini sejak zaman dahulu kala dan sampai hari ini. Yang ada hanyalah Genjring
kuno yang biasa mengiringi acara pengantinan dan sunatan. Semoga Allah Ta’ala
terus menjaga dan melindungi kampung ini sampai akhir masa dari kerusakan
zaman. Keadaan alam kampung ini yang sangat menggoda siapapun yang
mengunjunginya, panoramanya yang indah, bunga-bunga yang mekar berwarna-warni
hampir di setiap halaman rumah penduduk, pepohonan yang rindang, udara yang
segar, air yang melimpah karena memang kampung ini dilingkari oleh sungai,
serta dihuni oleh penduduk yang ramah, membuat para penuntut ilmu betah tinggal
beberapa lama di kampung ini, sehingga banyak dari mereka yang berhasil
menggapai cita-citanya. Kampung Lumpur selain terkenal dengan julukan kampung
santri juga menjadi obyek ziarah umat Islam dari berbagai daerah, karena dahulu
kala di kampung ini pernah hidup seorang Ulama besar yang bernama Mbah Idris
bin Ahmad Shaleh yang telah menghabiskan seluruh masa hidupnya untuk Nasyrul
ilmi dan Izzul Islam Wal Muslimin yang makamnya berada di dalam kampung ini
pula.
=-- e
õ
f --=
KAMPUNG LUMPUR
DIKERAMATKAN
Diceritakan bahwa di
Desa Kajen yang sekarang berubah menjadi pusat Pemerintahan Kabupaten
Pekalongan ada seorang pemuda bernama Usman bin Thoyib, ia bertekad melakukan
perjalanan menuju Banten dengan maksud akan mengaji tharekat kepada seorang
ulama ahli tarekat masa itu. Setelah perjalanan sampai di Losari hari sudah
mulai gelap, ia pun harus bermalam, namun tidak tahu di mana ia harus bermalam.
Ia bingung karena di tepi jalan Losari belum ada Masjid atau Langgar waktu itu,
akhirnya ia memutuskan diri untuk mencarinya ke utara ke Desa Prapag, di sini
ia bertemu Kyai Syu’aib pemilik sebuah Pondok Pesantren. Usman pun
dipersilahkan bermalam di rumah beliau. Pagi harinya ia diberi penghormatan
oleh beliau untuk menjadi imam shalat subuh. Mendengar suaranya yang bagus maka
Nyai Syu’aib yang kala itu menjadi makmunya meminta agar ia mau tinggal di
rumahnya sampai kurang lebih satu bulan. Setelah habis masa satu bulan dan dia
berpamitan untuk meneruskan perjalanannya ke Banten. Nyai Syu’aib memintanya
lagi agar ia menikah dulu dengan putrinya yang bungsu bernama Ummi Kaltsum yang
waktu itu masih berumur 7 tahun, dia pun menyetujuinya. Setelah menikah dengan
Ummi Kaltsum yang akad nikahnya dilaksanakan di rumah Kyai Syu`aib ia langsung
berangkat ke Banten memenuhi cita-citanya mengaji Tarekat. Kyai Syu’aib
memberinya bekal yang cukup untuk biaya hidup di Banten selama 10 tahun.
Setelah khatam belajar Tarekat dan Riyadoh di Banten, ia pun pulang kembali ke
Prapag. Tetapi sayang ketika perjalanannya sampai di Losari, seluruh wilayah
Losari kala itu sedang dilanda banjir besar. Ia pun harus berenang agar bisa
sampai ke desa Prapag dengan melewati Lumpur. Ditengah perjalanannya itu ia
melihat seekor Buaya siluman yang sangat besar yang muncul dari arah barat,
yaitu dari tengah sungai Cisanggarung yang juga tengah menuju arah Lumpur untuk
mengobrak-abrik pesantrennya Mbah Idris. Oleh dia (Usman) Buaya raksasa itu
dihambatnya dan dihalaunya agar mengurungkan niatnya dan pulang kembali ke
sarangnya semula. Tetapi (Buaya) menolak-nya, ia justru merubah haluan, yaitu
dengan cara belok ke selatan kemudian belok lagi ke timur agar bisa memasuki
Lumpur dari arah timur. Karuan saja Usman sangat marah karena Mbah Idris adalah
temannya dan guru ngaji di Pesantren Lumpur ia tidak rela Mbah Idris dan
pesantrennya dirusak buaya. Maka Usman yang sakti mandraguna itu berkata kepada
Buaya siluman itu : “Hai buaya edan, tahukah kamu Lumpur itu kampung yang suci,
tidak boleh di kotori oleh siapapun, dengan cara melakukan kemaksiatan yang seperti
apapun. Orang fasik dan dzalim yang berani masuk kampung ini akan celaka dan
binasa, termasuk kamu!!!” Konon yang dimaksud kampung suci adalah kampung
tempat orang mengaji dan beribadah, sehingga tidak boleh diganggu oleh
kemaksiatan termasuk tabuh-tabuhan. Sedang-kan yang dimaksud orang fasik yang
masuk akan binasa ialah jika mereka tetap dalam kefasikannya padahal sudah
mendengar bacaan Al-Qur`an dan nasehat Al-Qur`an, hal ini memang terbukti.
Mendengar ucapan Kyai Usman itu, si Buaya bukannya menjadi sadar tetapi justru
menantang Kyai Usman untuk berkelahi, Buaya tersebut kemudian membuka mulutnya
lebar-lebar dan kedua matanya merah menyala. Kemudian dengan cepat ia melompat
dan menerkam Kyai Usman. Dengan cepat pula Kyai Usman menggoyang-kan tubuhnya
kearah kiri untuk menghidari terkaman, lalu menggoyangkan kembali ke arah kanan
sambil menyarangkan pukulan tangan kirinya yang sangat keras ke arah rahang
kiri si Buaya dan diikuti oleh pukulan tangan kanannya yang lebih berat itu ke
batok kepalanya, sehingga kepala Buaya itu menjadi pecah, ia meraung kesakitan
dan tewas. Konon oleh Kyai Usman bangkai buaya itu dibiarkan saja di bantaran
sungai yang ada di arah timur kampung Lumpur, lama-lama bangkai itu
mengeluarkan bau busuk yang menyengat hidung, membuat orang yang lewat di
dekatnya harus meludah dan riak, sehingga kampung di dekatnya kini disebut
“Bantariak”. Dan Kyai Usman yang berkelahi dengan buaya di atas air banjir itu
diberi gelar oleh orang dengan gelar “Mbah Banjir”.
=-- e
õ
f--=
ASAL-USUL MBAH IDRIS
Konon di dusun yang
sekarang bernama Kelampok dan masuk wilayah desa Kalirahayu, Kecamatan Losari,
Kabupaten Cirebon. Hiduplah seorang alim yang sangat dihormati sebut saja
namanya Kyai Nasim. Beliau hanya dikaruniai dua orang anak putri dan putra.
Yang putri bernama Musyarofah yang kemudian dikenal dengan nama Nyi Serok
(karena setiap kali akan makan dia tidak pernah susah-susah mencari lauk. Ia
cukup mencari ikan di sungai Cisanggarung yang ada di sebelah rumahnya dengan
menggunakan alat penangkap ikan yang bernama serok itu.) Dan yang putra bernama
Syamsuddin. Kyai Nasim ingin sekali punya menantu yang ilmunya melebihi dirinya
dan ternyata seperti kata pepatah “pucuk dicinta ulam pun tiba”. Tanpa diduga
sebelumnya, datanglah pemuda yang alim, sopan santun, dan rupawan. Ahmad Shaleh
namanya, ia datang melamar putrinya yang bernama Musyarofah itu. Karuan saja
beliau langsung menerima lamarannya, pemuda ini menurut sementara sumber yang
bisa diakui kevalidannya adalah berasal dari Surabaya, Jawa Timur. Setelah
pernikahan antara Ahmad Shaleh dan Musyarofah berlangsung, yang ijab kabulnya
dilakukan di tempat tinggal mempelai putri, Ahmad Shaleh dimohon oleh mertuanya
untuk tinggal di desa yang sekarang bernama Kelampok itu. Mereka berdua hidup
rukun dan bahagia sehingga tidak berapa lama kemudian lahirlah anak-anak mereka
yang urutannya sebagai berikut: 1. Kyai Isma`il (Mulyasari - Losari - Cirebon)
2. Kyai Idris (Lumpur - Limbangan - Losari - Brebes) 3. Kyai Nuriddin (Lumpur -
Limbangan - Losari - Brebes) 4. Nyai Maimunah (Kalirahayu - Losari - Cirebon)
5. Kyai Muhammad (Kalirahayu - Losari - Cirebon) Ahmad Shaleh diberi tugas oleh
mertuanya untuk mengurus masjid, mengajar di pesantren, dan melayani masyarakat
umum. Disamping tugas-tugas itu ia tidak pernah lalai sedikitpun terhadap
pendidikan anak-anaknya terutama pendidikan tauhid, fiqih, dan akhlak. Seluruh
bidang ilmu tersebut beliau mengajarinya sendiri sebelum akhirnya mengirim
mereka ke Pondok Pesantren supaya kelak anak-anaknya itu menjadi orang yang
berilmu tinggi dan beramal shaleh yang gigih berjuang menegakkan
kalimat-kalimat Allah.
=-- e
õ
f --=
MBAH IDRIS BERGURU DI
MEKAH YANG PERTAMA SETELAH MENIKAH DENGAN NYAI SHA’IMAH DARI MUNDU - CIREBON
Setelah dirasa cukup belajar
mengaji kepada ayahnya sendiri, Idris ingin melanjutkan belajar ke tanah suci
Mekah kepada para ulama yang ada di sana seperti kepada Al-Imam As-Sayid Abu
Bakar bin Syatho, penyusun kitab I`anatut Tholibin yang sangat terkenal itu dan
lainnya. Lama sekali ia memendam cita-citanya yang mulia itu, sehingga pada
suatu hari ia matur kepada ayahnya : “Ayah, bolehkan aku belajar di tanah suci
Makah?” Jawab Ayahnya : “Cita-citamu bagus sekali, tetapi perlu kau pikirkan
bahwa pergi Mekah itu biayanya besar sekali dan prosesnya pun tidaklah mudah.”
Namun Idris tetap mendesak ayahnya agar mau merestui dan sekaligus
membiayainya. Akhirnya dengan senang hati sang ayah berusaha mencari bekal
untuk keberangkatan anaknya belajar mengaji di Mekah. ketika ia sudah mendapat
kesempatan, ia segera berpamitan serta mohon do`a kepada ayah ibunya,
keluarganya, tetangganya, dan teman-temanya. Kemudian ia berjalan menuju
Pelabuhan Cirebon untuk selanjutnya naik kapal laut menuju pelabuhan Jeddah.
Ketika perjalanan sudah sampai di Desa Mundu Pesisir kurang lebih 5 KM arah
timur kota Cirebon, beliau mampir sejenak di mushola yang ada di pinggir jalan
untuk sholat dan istirahat. Seusai menunaikan shalat fardhu, wirid dan sholat
ba’diyah ia segera bersiap-siap lagi melanjutkan perjalanannya yaitu ke
Pelabuhan Cirebon yang sudah dekat itu. Namun ketika akan mulai melangkahkan
kaki perlahan-lahan beliau mendengar suara orang membaca Al-Qur`an. Suaranya
sangat merdu, makhroj dan tajwidnya pun sangat sempurna. Akhirnya untuk
sementara waktu ia menghentikan langkah kakinya sejenak untuk duduk kembali
mendengarkan kalam ilahi sambil melepas lelah. Di tengah-tengah asyiknya
mendengarkan bacaan Al-Qur`an tanpa diduga datanglah seorang laki-laki setengah
baya menghampirinya. Laki-laki itu bertanya. Laki-laki : “Nak, kamu orang mana?
Dan siapa namamu?” Mbah Idris : “Saya dari Losari, nama saya Idris bin Ahmad
Shaleh” Laki-laki : “Barang-barangmu kok banyak, sepertinya kamu mau pergi jauh
ya?” Mbah Idris : “Betul pak, saya mau menuntut ilmu di tanah suci Mekah.”
Laki-laki : “Lalu kenapa kamu duduk terus sampai berlama-lama di sini?” Mbah
Idris : “Oh iya pak, saya merasa tenang mendengar bacaan Al-Qur`an.” Laki-laki
: “Suara itu adalah suara anak saya nak, namanya Shoimah orangnya hafal
Al-Qur`an dan masih perawan. Supaya kamu bisa terus mendengar suara itu
sebaiknya kamu nikah saja dengannya. Insya Allah barokah.” Mbah Idris : (Beliau
menundukkan kepala dan diam sejenak, kemudi- an berkata lagi) “Tetapi saya mau
mengaji dulu pak di kota Mekah.” Laki-laki : “Oh itu tidak masalah yang penting
kamu nikah dulu, kemudian kamu mukim di sana sepuasmu.” Setelah menikah, Idris
berangkat ke Mekah melalui pelabuhan Cirebon. Di Mekah beliau belajar kepada
ulama-ulama besar dalam berbagai disiplin ilmu termasuk aurod dan thoriqoh,
sehingga di kemudian hari beliau menjadi salah seorang guru besar Thoriqoh
Qadiriyah Naqsabandiyah dan menjadi Mujiz Dalailul Khoirot yang pertama di
Pulau Jawa.
MBAH IDRIS MEMBUKA
PESANTREN DI KAMPUNG LUMPUR
Sepulang dari memperdalam
ilmunya di Mekah, untuk sementara beliau tinggal di rumah mertuanya di Mundu
Pesisir sampai lahir anak yang pertama dan kedua yaitu Umar dan Amir. Ketika
Amir masih bayi, beliau dipanggil oleh orang tuanya bersama anak dan istrinya
agar tinggal di kampungnya yaitu kampung yang sekarang bernama Kelampok yang
masuk di dalam wilayah Pemerintahan Desa Kalirahayu, Kecamatan Losari,
Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Di sini beliau mulai menggelar ilmu
yang didapatinya dari belajar di Mekah dan dari orang tuanya sendiri. Melihat
kedalaman ilmu Idris dan ketangkasannya dalam mengajar, sang ayah berkata: Ayah
: “Agar ilmu yang kamu miliki itu manfaatnya lebih luas lagi sampai
kemana-mana, maka cobalah kamu pergi ke arah timur, carilah tanah rawa yang dilingkari
sungai.” Idris : “Untuk apa aku pergi dan mencari tanah rawa itu wahai ayah?”
Ayah : “Bangunlah masjid, pesantren, dan rumah tinggal lalu bermukimlah kamu di
sana.” (Lalu Idris mencari tanah rawa sesuai petunjuk ayahnya dan tidak lama
kemudian tanah rawa yang diisyaratkan ayahnya itu berhasil ditemukan. Beliau
merasa senang sekali karena usahanya tidak sia-sia, kemudian beliau langsung
membersihkan tanah tersebut dengan menebang pohon-pohon, semak-semak, lalu
melakukan semua yang diperintah-kan orang tuanya). Ayah : “Hai Idris, tanah itu
amat angker. Banyak sekali Syaitan, Jin dan dedemit yang menghuni di situ.
Dedemit dan jin itu siap mengganggu siapa saja yang menyebarkan ilmu, tetapi
Insya Allah, Allah melindungi kamu.” Idris akhirnya tinggal di kampung barunya
itu yang beliau namai kampung Jatisari yang kemudian berganti nama menjadi
Lumpur. Dan tidak berapa lama kemudian Pesantren Lumpur menjadi sebuah
pesantren yang ramai menjadi tempat mengaji para santri yang datang dari
berbagai daerah. Sebagaimana ayahnya (Kyai Ahmad Shaleh), Kyai Idris pun tak
pernah lupa mendidik dan mengasuh anak-anaknya. Mereka lebih dahulu dibekali
dengan ilmu-ilmu yang fardu ‘ain, fardu kifayah kemudian yang sunah. Setelah
itu barulah beliau mengirim seluruh anak-anaknya ke pesantren untuk memperdalam
ilmu-ilmunya kecuali Amir yang tidak dikirim ke pesantren karena memang tidak
suka, beliau lebih suka menggembala puluhan ekor kerbau milik ayahnya di hutan
Tawangsari di dekat laut utara sana. Bertahun-tahun lamanya Amir mukim di sana
sebelum akhirnya berangkat ke Mekah
=--e
õ
f--=
MBAH IDRIS BERGURU LAGI
DI MEKAH UNTUK YANG KEDUA KALINYA BERSAMA KEDUA ANAK BELIAU UMAR DAN AMIR
Sebagaimana diterangkan
di atas bahwa putra Mbah Idris yang kedua yaitu Amir tidak mau pulang ke rumah.
Ia memilih mukim di hutan Tawangsari menggembala puluhan ekor kerbau milik
ayahnya daripada pulang ke rumah. Mbah Idris pun merasa sedih dan kesal dengan
sikap anaknya itu, akhirnya untuk kesekian kalinya pada suatu hari beliau
menyuruh kembali salah seorang khadamnya pergi ke Tawangsari itu, untuk
menjemputnya. Ketika khadam bertemu dengan Amir, khadam berkata: Khadam : “Gus
(kependekan dari gusti) panjenengan ditimbali sang rama agar pulang ke rumah
sekarang, sang rama benar-benar rindu bertemu sampean.” Amir : “Pulanglah saja
kamu, dan bilang sama rama bahwa aku tidak akan pulang ke rumah. Aku sudah
betah hidup di hutan ini, kecuali jika sang rama mau memberangkatkan aku ke
tanah suci sekarang juga.” (Khadam tidak bisa berkata apa-apa kecuali langsung
pulang ke rumah. Setelah sampai di rumah dan bertemu dengan Mbah Idris ia
berkata dengan menirukan jawaban Amir saat disuruh pulang). Mbah Idris : “Ya
sudahlah, kalau begitu saya mau mencari biaya untuk bekal perjalanan Amir ke
tanah suci.” Dalam tempo singkat biaya dan semua persyaratan lain yang
dibutuhkan untuk perjalanan Amir dan biaya mukim di tanah suci sudah bisa
dipenuhi semua, maklum beliau orang yang berkecukupan. Kemudian beliau menyuruh
kembali khadamnya untuk men- jemput Amir. Kali ini Amir mau pulang ke rumah,
bahkan senang sekali mendengar jawaban ayahnya yang disampaikan khadamnya
karena dia akan langsung diberangkatkan ke tanah suci untuk memperdalam ilmu
bersama saudaranya (Umar) dan ayahnya sendiri. Setelah tiba di tanah suci, Mbah
Idris langsung mengontrak rumah kecil untuk tempat mukim dirinya dan kedua
anaknya itu. Di Mekah, Umar dan Amir berkumpul dengan teman-teman barunya,
antara lain : Abdul Wahab Hasbullah, Jombang, Hasyim Asy’ari, Jombang, Bagir,
Yogyakarta, Jauhar, Balerante Cirebon, Masduqi, Palimanan Cirebon, dan
lain-lain. Kedua putra Mbah Idris ini sangat senang sekali belajar di tanah
suci karena dapat mengaji bersama teman-temannya kepada ulama-ulama besar Mekah
diantaranya adalah As-Syekh Mahfudz bin Abdillah At-Tarmasi Al-Makki penyusun
Kitab Mauhibah Dzil Fadhol dan Manhaj Dzawin Nazhor yang hampir dipeajari oleh
setiap santri di seluruh Indonesia, Asia Tenggara dan negara-negara lain. Kedua
putra Mbah Idris ini dikenal sebagai murid-murid Syekh Mahfudz yang sangat
cerdas, tekun, suka bermusyawarah, rajin muthola’ah dan disiplin dalam
melakukan berbagai pekerjaan termasuk dalam beribadah. Konon orangnya pun putih
rupawan dan sangat ramah sehingga ia menjadi salah satu murid yang mendapat
perhatian khusus dari gurunya, yaitu Syech Mahfudz At-Tarmasi itu. Selama Mbah
Idris mukim di tanah suci Mekah yang kedua, di mana saat itu usia beliau sudah
sangat lanjut, urusan pesantren yang beliau tinggalkan di kampungnya Lumpur
diserahkan kepada menantunya dan keponakannya yaitu Kyai Abdullah Mura’i dan
Kyai Dahlan bin Mas’ud.
=-- e
õ
f --=
MBAH IDRIS BERTEMAN
DENGAN SYEKH MAHFUDZ AT-TARMASI
Selama mukim di Mekah,
Mbah Idris adalah teman akrab dan teman seperguruan dengan As-Syekh Mahfudz
At-Tarmasi, keduanya sama-sama murid As-Sayid Abu Bakar Syatha (wafat tahun
1310 H) dan As-Sayid Zaini Dahlan (wafat tahun 1304 H). Bahkan bukan sekedar teman
biasa, oleh As-syekh Mahfudz At-Tarmasi, Mbah Idris dianggap sebagai saudara
sendiri karena kedekatannya itulah maka kedua anaknya yaitu Umar dan Amir
diserahkannya kepada beliau untuk dididik berbagai disiplin ilmu. Syekh Mahfudz
pun dengan ikhlas menerimanya bahkan menganggap sebagai anak sendiri apalagi
Amir orangnya sangat menyenangkan, badannya tegap, otaknya cerdas, dan
sifat-sifatnya terpuji, beliau ramah, penolong, serta ringan tangan. Ketika
Syekh Mahfudz At-Tarmasi menyusun kitab Mauhibah Dzilfadhal beliau hanya
percaya kepada Amir untuk menjadi penulisnya, meskipun pada saat itu banyak
santri beliau yang lebih lama bermukim dan yang keilmuannya mungkin saja setara
dengan Amir bahkan mungkin melebihi-nya. Seperti Abdul Wahab Hasbullah, Jombang,
Bagir, Jogjakarta, dan Abdul Ghofur, Surabaya serta masih banyak lagi yang
lainnya.
=-- e
õ
f--=
SYEKH MAHFUDZ MOHON
IJIN KEPADA MBAH IDRIS AGAR AMIR MENJADI PENULIS KITAB YANG AKAN DIKARANGNYA
(MAUHIBAH DZIL FADHOL)
Syekh Mahfudz
At-Tarmasi meskipun telah menyandang gelar ulama besar dan guru Mbah Amir,
tetapi ketika beliau hendak ingin meyusun sebuah kitab yang menjadi karya
besarnya yaitu kitab Mauhibah Dzil Fadhal yang berjumlah 4 jilid besar-besar
itu, beliau dengan rendah hati menyempatkan diri datang ke tempat Mbah Idris
lalu beliau permisi kepadanya bahwa beliau ingin meyuruh Amir untuk menjadi
penulis kitab yang akan menjadi karya besarnya tersebut. Ini menunjukkan betapa
sempurna sifat-sifat mahmudah yang beliau miliki. Mengapa Syekh Mahfudz memilih
Amir untuk menjadi penulisnya? Bukankah menulis kitab apalagi kitab yang besar
adalah merupakan pekerjaan berat yang tidak bisa ditangani oleh sembarang
orang? Apalagi Amir khat arabnya juga tidak terlalu bagus seperti yang penulis
pernah menyaksikannya sendiri. Betul, karena Amirlah yang dianggap oleh beliau
paling mampu melakukan pekerjaan ini. Orangnya cerdas dan hafalannya tidak
gampang lupa, pendiam dan tidak banyak ngobrol, lagi sabar dan tidak gampang
putus asa dan mungkin saja ada rahasia-rahasia lain yang hanya As-Syekh Mahfudz
sendiri yang mengerti.
=-- e
õ
f --=
NASKAH ASLI MAUHIBAH
DZIL FADHOL HILANG DAN
AMIR MENULIS LAGI
PERSIS SEPERTI ASLINYA
Setelah sekian lama
Amir menulis kitab Mauhibah melalui Imla (Amir yang menulis dan Syekh Mahfudz
yang membaca) maka dengan pertolongan Allah pula selesailah penulisan itu dan
kini lahirlah kitab fiqih besar karya seorang ulama Indonesia yang bernama
Mauhibah Dzil Fadhal. Amir menulisnya dengan teliti dan hati-hati sehingga
tidak ada yang salah satu huruf pun. Selanjutnya kitab tersebut akan segera
beliau serahkan kepada gurunya. Namun tanpa diduga ketika beliau keluar dari
kamarnya untuk mencari sesuatu yang menjadi kebutuhan hidupnya dan beliau
kembali lagi ke kamarnya itu ternyata naskah asli kitab itu raib dari meja
belajar yang ada di kamarnya. Amir sedih sekali karena naskah tersebut belum
dicetak. Naskah tersebut baru ada satu yaitu yang hilang itu. Hilangnya naskah
kitab itu mengherankan sekali, tidak diduga sama sekali sebelumnya karena Amir
hampir tidak pernah keluar kamar kecuali untuk shalat, mengaji dan memenuhi
kebutuhan hidup. Amir bukan anak yang bodoh dan cengeng, ia tidak mau lama-lama
bersedih, ia segera ambil keputusan untuk menulis kembali kitab Mauhibah yang
hilang itu tanpa minta diimla oleh gurunya lagi karena di samping malu
bercampur takut, dia sendiri sudah hafal dengan baik seluruh tulisan yang
terkandung di dalam kitab itu. Dia menulisnya kembali tanpa minta bantuan
siapapun hingga dalam beberapa hari saja kitab Mauhibah 4 jilid itu sudah
selesai ia tulis. Amir sangat lega hatinya dan kini ia sagat berhati-hati
sekali dalam menjaga kitab yang baru ditulis itu. Supaya tidak hilang lagi
kemudian naskah yang baru ditulis itu segera diserahkan kepada gurunya, seraya
matur : Amir : “Oh maha guru, hamba mohon maaf yang sebesar-besarnya, hamba
telah gegabah dan kurang hati-hati di dalam menjaga naskah asli kitab Mauhibah
yang telah guru imlakan kepada kami, kitab Mauhibah yang baru selesai kami
tulis itu benar-benar raib dari meja kami, kami tidak tahu siapa yang
mengambilnya dan akhirnya kami menulisnya kembali dan inilah hasilnya yang
Insya Allah tidak berbeda dengan aslinya. Hamba tidak mengurangi dan tidak
menambahi sekalimat pun. Tapi hamba mohon agar tuan guru memeriksanya kembali.”
Setelah Syekh Mahfudz memeriksanya kamudian beliau berkata : Sy. Mahfudz :
“Wahai anakku Amir, sejak dulu aku memang sudah menaruh kepercayaan besar
kepadamu, dugaanku begitu kuat bahwa kamulah yang mampu menulis kitabku itu dan
ternyata kitab yang kamu tulis ini benar-benar persis dengan yang kuimlakan
kepadamu.” Amir : “Jadi naskah ini bisa diterima, wahai tuan guru?” Sy. Mahfudz
: “Oh ya, diterima sekali. Mengapa tidak? Kan sudah persis semua. Amir : “Terima
kasih tuan guru, hamba permisi kembali ke pondok.” Setelah Amir masuk kamar
pondok, ia melihat naskah asli yang pernah diimlakan gurunya tetapi kemudian
hilang itu ada kembali di atas meja belajarnya. Dia pun kaget setengah tidak
percaya, ternyata yang mengembalikan adalah temannya sendiri yang tidak lain
adalah Wahab Hasbullah, Jombang. Rupanya temannya yang satu ini benar-benar
ingin menguji kecerdasan dan keilmuan Amir. Dia hanya bergurau dan menggoda
Amir, tetapi karena caranya seperti itu, maka Amir membalas godaan itu dengan
ucapan yang menyakitkan hatinya. Wahab pun marah besar. Dia ingin melakukan
sesuatu tetapi Amir sudah hilang dari pandangan matanya. Hanya suaranya saja
yang bisa didengar. Wahab pun beserta teman-teman Amir yang lain merasa kagum
dengan karomah Amir itu. Setelah kasus ini sampai kepada Syekh Mahfudz, beliau
langsung turun tangan mendamaikan dua orang santrinya yang tengah
berbantah-bantahan itu dan dalam sekejap saja keduanya kembali rukun seperti
semula dan kitab Mauhibah pun dicetak dalam jumlah yang lebih banyak lagi agar
manfaatnya lebih luas dan lebih lama karena menulis ilmu adalah sama dengan
mengabadi-kannya. Imam Malik berkata: اَلْعِلْمُ صَـيْدٌ وَالْكِتَابَةُ قَيْدُهُ
* قَيِّدْ صُيُوْدَكَ بِالْحِبَالِ اْلوَاثِقَةْ وَمِنَ الْحَمَاقَةِ اَنْ تَصِيْدَ
غَزَالَةً * وَتَفَكَّهَا بَيْنَ الْخَلاَئِقِ طَالِقَا Artinya : “Ilmu adalah
ibarat hewan buruan dan tulisan adalah ibarat tali pengikatnya. Oleh karenanya
ikatlah hewan buruanmu dengan tali yang kuat.” “Adalah tindakan tolol jika kamu
berburu kijang kemudian setelah kijang itu berhasil kamu tangkap, kamu biarkan
saja dia tanpa diikat”.
=-- e
õ
f --=
MBAH IDRIS PULANG
KEMBALI KE TANAH AIR
Setelah beberapa tahun
Mbah Idris dan kedua putranya Umar dan Amir bermukim di tanah suci untuk
menunaikan haji dan memperdalam ilmu. Mbah Idris dan salah satu dari kedua
putraya yaitu Umar kemudian pulang kembali ke kampung halaman, sedangkan Amir
tetap tinggal di Mekah. Setelah sampai di kampung halaman, keduanya kembali
melakukan aktifitas sehari-harinya sebagaimana layaknya orang-orang alim yaitu
mengajar di pesantren dan membimbing masyarakat dengan dibantu oleh putra Mbah
Idris yang lain dan menantu-menantunya bahkan keponakan-nya yaitu Kyai Dahlan
bin Mas’ud yang bergelar “Shohibus Shout” karena kemerduan suaranya dan
kefasihannya di dalam melantun-kan ayat-ayat Al-Qur`an yang sulit dicari
tandingannya. Dalam pengabdiannya kepada pesantren dan masyarakat, Mbah Idris
membagi tugas mengajar para putra-putra dan menantu-menantunya sebagai berikut:
1. Kyai Umar diberi tugas memimpin Tharekat 2. Kyai Abdullah Mura’i mengajar
Tauhid, Fiqih dan Tasawuf. 3. Kyai Dahlan mengajar Al-Qur’an, Tafsir dan Hadits
4. Kyai Kadnawi mengajar Al-Qur`an dan tuntunan shalat di masyarakat Sementara
Kyai Amir dan Kyai Dawud masih mukim di Mekah, sehingga pesantren lumpur makin
bersinar bagai lampu petromak yang menyinari kegelapan malam. Santrinya
berdatangan dari mana-mana mulai dari daerah Cirebon sendiri sampai
daerah-daerah lain yang ada di sekitarnya, seperti Indramayu, Subang, Karawang,
Kuningan, Brebes, Tegal, Pekalongan dan lainnya. Kampung Lumpur pun selain
dikenal sebagai tempat menuntut ilmu syariat juga menjadi pusat bagi
orang-orang yang mau bai’at Tharekat Naqsabandiyah dan ijazah Dalailul Khoirot.
Hampir seluruh orang yang mengamalkan Tharekat dan Dalailul Khoirot yang ada di
Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur bahkan sebagian luar jawa dipastikan
jalur sanadnya adalah melalui Mbah Idris ini.
=-- e
õ
f--=
MBAH IDRIS MENIKAH DENGAN
NYAI DASIMAH DARI LOSARI KIDUL
Sebagai Kyai sepuh yang
sangat dihormati oleh masyarakat, Mbah Idris giat melakukan aktifitas keagamaan
seperti mengimami tahlil, memimpin manaqib, menjadi wakil wali dalam
pernikahan, membagi harta warisan, menerima pengaduan dan mendamaikan warga
jika terjadi gejolak. Konon, menurut beberapa sumber yang bisa dipercaya,
ketika beliau sedang memimpin acara manaqib di rumah salah seorang warga desa
Losari Kidul, beliau tidak mengetahui bahwa dirinya tengah diintip oleh seorang
perempuan bernama Dasimah dari sela-sela pagar rumah sang empunya hajat.
Perempuan ini sudah cukup lama menyimpan rasa cinta kepada beliau dan
berkeinginan sekali menjadi istrinya namun tidak mempunyai keberanian untuk
mengungkapkan isi hatinya itu kepada siapapun termasuk kepada orang tuanya
sendiri. Karena merasa tidak ada kesetaraan antara dirinya dengan beliau, namun
keinginannya semakin hari semakin membara dan berkobar saja. Dia benar-benar
tidak mampu lagi memadamkan kobaran api cintanya itu kepada beliau. Akhirnya
tanpa berpikir panjang dan tanpa berunding dengan siapapun ia mendatangi rumah
seorang dukun kejawen yang cukup terkenal saat itu. Oleh sang dukun ia diberi
ramuan khusus dan bacaan khusus pula, sang dukun menyuruhnya supaya ramuan itu
digoreng lalu dicampur menjadi satu dengan air kopi yang sudah diberi gula,
selanjutnya usahakan agar ramuan itu bisa diminum oleh beliau. Setelah ramuan
itu dibuat maka dalam suatu kesempatan yang sudah diperhitungkan, dia
mengadakan sebuah acara kecil-kecilan dengan menghadirkan beliau untuk
mengimami doa. Setelah acara selesai maka minuman yang telah diberi ramuan pun
disuguhkan kepada beliau dan ternyata usahanya tidak sia-sia. Dalam beberapa
hari saja ketika Nyai Dasimah datang ke rumah beliau bersama orang tuanya untuk
mencoba melamar beliau, maka beliau langsung saja menerimanya dan pernikahan
antara beliau dengan Nyai Dasimah pun berhasil dilaksanakan dengan upacara yang
sederhana dan dalam waktu yang sangat singkat karena istri beliau Nyai Shoimah
sebagai istri yang sholihah, ia tidak merasa keberatan suaminya menikah lagi
meskipun seluruh persiapan yang dibutuhkan dalam pernikahan adalah harus dia
sendiri yang mengusahakan dan mengurusnya. Kedua pengantin baru ini hidup rukun
dan bahagia sekali karena keduanya memang saling cinta dan mencintai. Dari
pernikahan beliau dengan Nyai Dasimah ini beliau dikaruniai 3 orang anak.
Mereka adalah: Abdullah, Dabbas dan Syu`aib Kedua orang anaknya ini pernah
belajar di Mekah sebagai-mana anak-anak beliau yang dari istri Nyai Shoimah.
=-- e
õ
f --=
NY. DASIMAH DIFIRAQ DAN
KH. IDRIS KE MEKAH LAGI
Hari itu keadaan langit
cerah, sang mentari dengan leluasa membakar permukaan bumi tanpa mendapat
rintangan awan maupun mendung, membuat cuaca di bumi menjadi cukup panas,
daun-daun pohon banyak yang mulai menguning, lalu berguguran satu demi satu,
sungai Cisanggarung dan juga selokan-selokan di sawah kering, tidak ada lagi
air yang mengalir, warna tanah sawah berubah menjadi hitam. Para petani lebih
suka tinggal di rumah menikmati hasil panen beberapa bulan yang lalu sambil
melakukan kegiatan-kegiatan kecil di rumah masing-masing seperti memberi makan
ternak, memperbaiki weluku, cangkul dan semacamnya. Namun kegiatan belajar
mengajar di Pondok Lumpur tetap semarak, para santri belajar dengan penuh
semangat, ada yang sedang menulis, membaca, mutola'ah, musyawaroh,
mendengar-kan keterangan guru dan sebagainya. Para guru pun demikian adanya,
hanya Mbah Idris sesepuh pondok yang sudah berhari-hari tidak bisa mengajar,
beliau sakit, sudah banyak obat dan ramuan yang berkhasiat mengusir penyakit
dari tabib ahli yang beliau telan, tetapi penyakitnya masih belum mau pergi
juga, badannya semakin lemah, suaranya lirih dan makannya semakin tidak
bernafsu, sehingga shalatpun terkadang beliau lakukan dengan dijamak, belau
tidak dirawat di rumah sakit tetapi di rumah istri pertamanya yaitu Ny. Shoimah
di Lumpur. Konon ketika Ny. Dasimah istri beliau yang dari Losari Kidul
mendengar beliau sakit, ia segera datang menjenguk, ia ingin melihat langsung
kesehatan beliau dan ingin pula meminta maaf karena ia merasa pernah mempunyai
kesalahan besar terhadap diri beliau, yaitu pernah memberi minuman yang
dicampuri ramuan khusus dan bacaan khusus pula. Dasimah : “Kyai, sebenarnya
saya datang kesini bukan sekedar silaturrahim dan menjenguk panjene-ngan saja,
tetapi selain dari itu kami ingin sekali memohon maaf kepada panjenengan karena
kami pernah melakukan perbuatan tercela yang kalau kami ceritakan kepada
sampean pastilah sampean akan marah besar.” Mbah Idris : “Hah..! Perbuatan
tercela apa itu?” Nyai Dasimah bercerita dari awal hingga akhir tentang kopi
yang ia beri ramuan khusus lalu disuguhkan kepada Mbah Idris hingga beliau mau
menikahi dirinya. Mendengar cerita Nyai Dasimah itu beliau spontan semaput tak
sadarkan dirinya, dan setelah siuman beliau berkata : “Bertaubatlah kepada
Allah! Kamu saya cerai...!” Setelah Mbh Idris sembuh dari penyakitnya dan sudah
sehat kembali, beliau berpamitan kepada istrinya yaitu Ny. Shoimah, untuk pergi
beribadah haji di Mekah, sekaligus menjenguk putranya yang tengah mesantren di
sana
=-- e
õ
f --=
MBAH IDRIS MENIKAH
DENGAN NYAI BANTEN DI MEKAH
Setelah sekian lama
Mbah Idris tinggal di kampung halamannya, di Kampung Lumpur sampai nikah dengan
Nyai Dasimah dan mempunyai 3 orang anak, kini timbul keinginan beliau untuk
kembali lagi pergi ke tanah suci Mekah dan bermukim di sana. Setelah maksudnya
itu disampaikan kepada istrinya, istrinya pun tidak keberatan serta memberi
izin kepada beliau untuk kembali ziarah ke tanah suci itu. Setelah sampai di
sana, beliau berkumpul kembali dengan anaknya yaitu Amir untuk belajar,
mengajar, dan beribadah. Belum lama beliau tinggal di Mekah, pada suatu hari
beliau merasa gundah dan sedih yang sangat dalam bahkan sampai kedua kelopak
matanya mengeluarkan beberapa tetes air mata. Beliau ingat terus kepada kebaikan
istrinya Nyai Shoimah yang ditinggalkannya di tanah air. Rupanya kesedihan itu
menjadi pertanda terjadinya sesuatu yang menimpa pada diri istrinya tersebut.
Perasaan itu ternyata benar karena tidak berapa lama kemudian beliau menerima
berita bahwa istri yang sangat dicintainya itu telah meninggal dunia dan
dimakamkan di pemakaman Losari Lor, di sebelah kiri gang yang menuju makam Mbah
Pulosaren. Usia beliau pun semakin hari semakin bertambah, tenaganya semakin
menurun sampai setiap kali pergi ke Masjidil Haram mesti harus dibantu berjalan
oleh putranya Amir agar bisa sampai di Masjid dan pulang kembali di rumah
pemondokannya. Keadaan seperti ini menjadikan Amir sering tertinggal mengaji
kepada gurunya baik di Masjidil Haram maupun di tempat sekitarnya. Amir
berfikir cukup lama bagaimana caranya supaya ia bisa terus berbuat baik kepada
orangtuanya, tetapi juga tidak ketinggalan mengaji sampai akhirnya ia menemukan
sebuah ide yang dinilainya sangat tepat, yaitu memohon kepada ayahnya agar mau
menikah dengan seorang wanita yang mau merawat dan melayani ayahnya itu. Wanita
yang dimaksud pun segera ia berhasil menemukannya. Ia melihat seorang janda
muda yang sudah lama ditinggal mati suaminya, pekerjaannya menjajakan air
bersih dari rumah ke rumah. Kegiatan itu ia mulai dari pagi hingga sore hari.
Janda tersebut bernama Chalimah asal dari daerah Banten. Sehingga pada suatu
hari sesudah ia (Amir) dan ayahnya menunaikan sholat jama`ah di Masjidil Haram
ia berkata kepada ayahnya. Amir : “Wahai ayah, kami ingin mengusulkan sesuatu
kepada ayah tetapi kami tidak mampu mengutarakannya.” Ayah : “Katakan saja,
siapa tahu usulmu itu bermanfaat bagi diriku dan dirimu.” Amir : “Sekali lagi
kami mohon ampun ayah, jika usulku nanti mengganggu ketenangan ayah atau sampai
menyakiti ayah. Begini ayah, kami punya pendapat, alangkah baiknya jika ayah
mau menikah saja dengan Nyai Chalimah penjual air itu, agar di sisi ayah ada
orang yang bisa merawat dan melayani ayah selama 24 jam dan orang tersebut
adalah istri ayah sendiri, bukan orang lain. Lagi pula nantinya kami bisa
mengaji dengan sempurna tidak sampai ketinggalan lagi, karena ayah sudah punya
pendamping.” Ayah : “Usulmu baik sekali Amir, tetapi apa kira-kira Chalimah mau
menikah dengan ayah? padahal dia masih muda sementara ayah sudah tertalu tua.
Amir : “Insya Allah dia mau Ayah.” Singkat cerita perkawinan beliau dengan Nyai
Chalimah cepat terlaksana. Perkawinan beliau dengan Nyai Chalimah yang terkenal
dengan nama Nyai Banten itu hanya dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi
nama Chasanah yang kelak menjadi istri Kyai Dawud bin Mas’ud.
MBAH IDRIS KEDATANGAN
SYEKH MAHFUDZ
Konon di Semarang
tepatnya di kampung Darat tinggal seorang ulama besar yang memiliki dedikasi
tinggi dalam berdakwah mengajak umat beriman dan beribadah kepada Allah. Beliau
adalah Kyai Shaleh bin Umar penyusun kitab-kitab agama berbahasa Jawa yang
sangat banyak sekali dari berbagai macam disiplin ilmu dari mulai tauhid, fiqh,
tasawuf, tafsir, dan lain-lain. Beliau (KH. Saleh) mempunyai beberapa orang
anak diantaranya adalah Raden Ajeng Zahro. Ia menjadi istri seorang ahli falak
yang terkenal yaitu KH. Raden Dahlan Al-Falaki. Tetapi sayangnya, baru
dikaruniai satu orang anak yang diberi nama Raden Rahmat, Kyai ahli falak ini
meninggal dunia sehingga Nyai Raden Ajeng Zahro pun dengan sendirinya menjadi
seorang janda muda. Sepeninggal KHR. Dahlan Kyai Shaleh ingin sekali
mencari-kan suami untuk Raden Zahro ini kalau ada adalah orang yang keilmuannya
maupun kesalihannya mirip dengan menantunya yang wafat itu. Akhirnya pilihan
tepat beliau jatuhkan pada Syekh Mahfudz At Tarmasi. Namun ketika Syeh Mahfudz
berunding dengan istrinya bahwa dirinya dimohon kesiapannya oleh Kyai Shaleh
untuk menikah dengan Raden Zahro ternyata istrinya merasa keberatan sehingga
Syekh Mahfudz hanya bisa mengusul-kan kepada Kyai Shaleh saja yaitu agar beliau
mau memilih saja salah satu dari dua belas santrinya yang dianggap paling
senior saat itu yang diantaranya Amir sendiri, beliau pun menyetujui usul Syekh
Mahfudz itu, sekaligus menyuruhnya agar dia sendiri menangani proses
selanjutnya termasuk menghubungi Amir dan beristikhoroh. Setelah Syekh Mahfudz
bermusyawarah dan beristikhoroh maka beliau menunjuk Amir untuk menjadi
pengganti dirinya untuk menikahi Raden Zahro. Agar urusannya cepat selesai
beliau segera pergi menuju ke tempat Mbah Idris. Setelah sampai di rumah Mbah
Idris, beliau melihat Mbah Idris tengah duduk khusyu’ mengahadap kiblat dengan
tangan kanan memegang tasbih dan mulutnya membaca dzikir di ruang depan rumahnya
yang terbuka tanpa pintu. Beliau cukup lama duduk di belakang Mbah Idris itu
menunggu sampai dzikirnya selesai. Setelah Mbah Idris selesai berdzikir dan
bangun dari duduknya, beliau sangat kaget karena ada Syekh Mahfudz tengah duduk
di belakangnya, kemudian Syekh Mahfudz mengucap salam. Sy. Mahfudz :
“Assalamualaikum”. Mbah Idris : “Wa’alaikumus Salam Warahmatullah”. Sy. Mahfudz
: “Mohon maaf Mbah, Saya datang tiba-tiba tanpa memberi tahu lebih dulu”. Mbah
Idris : “Justru kami yang mohon maaf karena kami tidak mengerti sampeyan
menunggu lama. Ada apa tho pak Kyai Sampeyan datang ke tempat Saya malam-malam
begini?.” Sy. Mahfudz : “Ada kabar penting Mbah, baru saja saya diperintah oleh
Kyai Shaleh ndarat Semarang agar saya mencarikan calon suami putrinya yang
bernama R.A. Zahro, dan ternyata saya melihat Amir putra Panjenengan adalah
satu-satunya santri saya yang pas menjadi pendamping hidupnya.” Mbah Idris :
“Terima kasih sekali Kyai, itu terserah anak saya. Tetapi begini Kyai, Amir
itukan sudah menikah beberapa waktu lalu dengan Sukainah binti Kyai Sa`id dari
Gedongan Cirebon.” Sy. Mahfudz : “Itu urusan mudah Mbah, kami yang akan
menyelesaikannya dengan segera.” Mbah Idris : “Kalau begitu urusan ini kami
serahkan sepenuhnya kepada Kyai Amir, Kyai Shaleh Darat, dan Kyai Sa`id
Gedongan, silakan kalian berunding. Kami hanya bisa mendo`akan semoga urusan
ini berakhir dengan baik, maslahat dan manfaat.” Amir pun akhirnya menikah
dengan RA. Zahro putri Mbah Shaleh Darat (dikemudian hari setelah menikah, Amir
bermukim di Semarang, kemudian hijrah ke Pekalongan).
=-- e
õ
f--=
NYAI BANTEN MOHON
KEPADA MBAH IDRIS AGAR PUTRINYA
DINIKAHKAN DENGAN DAWUD
Sebelum Mbah Idris dan
putranya pulang ke Lumpur, Kyai Mas’ud yang tidak lain adalah saudara sepupu
Mbah Idris terketuk hatinya untuk meniru langkah Mbah Idris yang telah mengirim
anak-anaknya pergi ke tanah suci Mekah untuk menuntut ilmu pada ulama-ulama
besar di sana. Mereka yang ingin dikirim antara lain ialah : 1. Abdul Qohhar
bin Mas’ud (mukim di Kalirahayu-Losari-Cirebon) 2. Karnadi bin Mas’ud (mukim di
Keboncai - Cirebon) 3. Dahlan bin Mas’ud (mukim di Lumpur - Losari - Brebes) 4.
Dawud bin Mas’ud (mukim di Lumpur - Losari - Brebes) Mereka (putra-putra Kyai
Mas’ud) juga menuntut ilmu di tanah suci dengan semangat yang tinggi sehingga
mereka semua menjadi ulama-ulama besar di zamannya. Kyai Karnadi dikenal
sebagai murid kesayangan As-Syekh Nawawi Al-Bantani penyusun Tafsir Al-Munir,
Kyai Dahlan dan Kyai Dawud dikenal kedalaman ilmunya juga kemerduan suaranya
sehingga Kyai Dahlan pernah dilarang Kyai Amir mengimami sholat Jahar karena
seluruh ma’mumnya tersihir oleh kehalusan suaranya, sampai mereka lupa membaca
fatihah, dan Kyai Dawud dikenal cerdas, alim dan pernah menjadi Muadzin (tukang
adzan) di Mekah. Menurut sumber yang dapat dipercaya setiap Kyai Dawud
mengumandangkan adzan maka semua orang khusyu’ mendengarkan suara adzannya itu,
tidak terkecuali Nyai Banten sehingga saking kagumnya Nyai Banten matur kepada
suaminya (Mbah Idris). Ny. Banten : “Kekaine besok si Dedawud jadi menantu kita
ya Kekaine? Setuju kan Kekaine? Mbah Idris : “Ya.. itu urusan gampang, kalau
Tuhan menghendaki.” Ny. Banten : “Kekaine awas jangan lupa loh ya, Saya senang
sekali dengan suara si Dedawud.” Mbah Idris : “Ya... ya... kamu yang banyak
berdo`a saja yah” Harapan Nyai Banten ingin punya menantu Kyai Dawud bin Mas’ud
akhirnya terlaksana. Nyai Khasanah binti Idris yang waktu itu masih berumur 7
tahun akhirnya dinikahkan dengan Kyai Dawud.
=--e
õ
f --=
MBAH IDRIS DAN PUTRA-PUTRANYA
DIUSIR KAUM WAHABI
Mbah Idris dan
putra-putranya sebenarnya ingin sekali tinggal di tanah suci Mekah keluarga ini
sudah betah hidup di tanah suci itu bahkan sampai mereka ingin hidup disana
sampai akhir hayatnya sekaligus dimakamkan di sana berkumpul dengan makam para
Sahabat. Namun, harapan itu menjadi sirna karena negara yang waktu itu bernama
Hijaz dan berada di bawah kesultanan Usmani di Turki di mana beliau bersama
anaknya bermukim di dalamnya kini mengalami gejolak yang hebat. Seorang tokoh
oposisi penganut faham Wahabi yang bernama Muhammad Sa’ud dari wilayah Najad
melakukan kudeta (penggulingan terhadap pemerintahan yang sah yang bermadhab
Syafi’i dan menduduki kota Mekah pada tahun 1802 M hingga 10 tahun lamanya
sebelum akhirnya mereka digempur kembali oleh tentara Mesir pimpinan Ali Pasha
atas perintah kesultanan Turki Usmani yaitu Sultan Muhammad As-Sani pada tahun
1812 M. Dan gerakannya bangkit hingga subur kembali pada tahun 1925 pada masa
pemerintahan Raja Ibnu Su`ud hingga sekarang (Th. 2011 M)
=-- e
õ
f --=
SEKILAS TENTANG
GOLONGAN WAHABI
Golongan Wahabi adalah
firqah islamiyah yang dipelopori oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab (1702 -
1787 M). Golongan ini dalam bidang fiqih berpegang pada Madzhab Hanbali yang
disesuaikan dengan pemikiran Ibnu Taimiyah. Para pengikutnya menamakan
golongannya ini “Al-Muwahhidun” dan Tariqahnya dinamai “Al-Muhammadiyah”.
Golongan Wahabi banyak mewarisi ajaran-ajaran Ibnu Taimiyah bahkan lebih
radikal. Pembawa faham ini adalah bernama Muhammad, sedangkan Abdul Wahab adalah
nama ayahnya yang berfaham Ahlis Sunah Wal Jama`ah, saudara sekandung Muhammad
bernama Sulaiman bin Abdul Wahab juga berfaham Ahlus Sunah Wal Jama`ah sehingga
karena berbeda faham maka antara keduanya sering terjadi percekcokan, diantara
perdebatannya yang pernah terjadi adalah sebagai berikut : Sulaiman :
“Berapakah rukun islam?” Muhammad : “Lima.” Sulaiman : “Tetapi kamu
menjadikannya enam!” Muhammad : “Apa?” Sulaiman : “Kamu menfatwakan siapa yang
mengikutimu adalah mukmin, dan yang tidak sesuai dengan fatwamu adalah kafir.”
Ia (Muhammad) terdiam, marah dan berusaha membunuhnya tetapi Sulaiman bisa
lolos. Diantara ajaran Wahabi yang berbeda dengan Ahli Sunah adalah masalah
“Istiwa` `Alal `Arsy”. Mereka meyakini bahwa Allah tidak menyerupai makhluk, tetapi
anehnya mereka meyakini bahwa Allah berada di tempat yang tertentu yaitu di
atas `Arsy dan berada di arah yang tertentu pula yaitu arah atas (Lihat kitab
“Taujihat Islamiyah” karya Muhammad bin Jamil Zinu, hal : 18) dia adalah tokoh
Wahabi dan dosen “Darul Hadits Al-Khoiriyah” Mekah, Saudi. Kita golongan Ahlus
Sunah Wal Jama`ah beriman bahwa Allah ta`ala memiliki sifat-sifat sempurna
antara lain :
a. Sifat Istiwa` (bersemayam). Karena Allah berfirman : اَلرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى ﴿طه : ٤﴾ (Tuhan Yang Maha Pemurah bersemayam pada `Arsy)
b. Sifat Maji` (Datang). Karena Allah berfirman : وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا ﴿الفجر : ٢٢﴾ (Dan datanglah Tuhanmu, sedangkan Malaikat berbaris-baris)
c. Sifat Nuzul (Turun). Karena Nabi bersabda : اِذَا مَضَى شَطْرُ اللَّيْلِ نَزَلَ رَبُّنَا اِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا (Apabila separuh dari waktu malam telah lewat maka turunlah tuhan kita ke langit yang paling dekat dengan dunia) Akan tetapi kita meyakini bahwa :
1) - Dzatnya Allah bukan jisim dan Istiwa`nya dzat yang bukan jisim itu tidak boleh disamakan dengan Istiwa`nya dzatnya yang berjisim - Dzatnya Allah bukan jisim dan Maji`nya dzat yang bukan jisim itu tidak boleh disamakan dengan Maji`nya dzatnya yang berjisim - Dzatnya Allah bukan jisim dan Nuzulnya dzat yang bukan jisim itu tidak boleh disamakan dengan Nuzulnya dzatnya yang berjisim.
2) Dzatnya Allah itu tidak sama dengan dzatnya makhluk (Dzatuhu Mukholafahl Lidzatil Hawadits) maka sifat-Nya juga tidak sama dengan sifatnya makhluk (Sifatuhu Mukholafah Lisifatil Hawadits). Semua sifat-sifatnya Allah seperti Qudrot, Irodat, Ilmu, Hayat, Sama`, Bashor dan Kalam itu tidak sama dengan sifat Qudrot, Irodat, Sama` dan seterusnya yang dimiliki makhluk.
3) Istiwa`nya Allah pada `Arys adalah Istiwa` yang layak bagi dzatnya Allah, jadi tidak boleh ada “Tasybih” (penyerupaan Istiwa`nya Allah dengan Istiwa`nya makhluk). Tidak boleh ada “Tamtsil” (persamaan Istiwa`nya Allah dengan Istiwa`nya makhluk). Dan tidak boleh ada “Ta`thil” (pengosongan dan peniadaan Istiwa` itu sama sekali pada Allah).
4) Istiwa`nya Allah ta`ala itu “Ghoiru Mukayyafin” (tidak boleh diterka-terka seperti apa bentuknya) karena dzatnya Allah itu Mukholafah Lilhawaditsi maka sifatnya juga Mukholafah Lilhawaditsi. Jadi berbeda dengan Istiwa`nya jisim yang mesti “Mukayyafin” (bisa dibayangkan bentuknya)
5) Kata Istiwa` di dalam Al-Qur`an tidak boleh ditafsiri oleh siapapun menurut selera sendiri tetapi harus menunggu tafsiran dari Nabi SAW karena hanya beliau yang mendapat mandat dari Allah utuk menafsiri Al-Qur`an. Allah ta`ala berfirman :
( وَاَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ بِهِ ﴿النحل : ٤٤
Artinya : “Dan kami turunkan Al-Qur`an kepadamu agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” Jadi ketika ada ayat yang “Auhamat Tasybih” (membayang-kan adanya penyerupaan Allah) dan Nabi tidak menjelaskan tafsirnya maka kita harus diam (sukut) dan menyerahkan tafsir itu kepada Yang Maha Kuasa (At-Tafwidh Ilallah) seperti yang dilaku-kan para ulama salaf kita. Inilah komentar mereka (para Salafus Sholihin) tentang Istiwa` :
- Imam Sufyan bin `Uyainah Rohimahullah كُلُّ مَا وَصَفَ اللهُ بِهِ نَفْسَهُ فِى كِتَابِهِ فَتَفْسِيْرُهُ تِلاَوَتُهُ وَالسُّكُوْتُ عَلَيْهِ ﴿هو الله
: ٣٨﴾ (Seluruh sifat Allah yang Allah telah mensifatinya sendiri di dalam Al-Qur`an maka tafsir / arti dari ayat tersebut adalah membaca-nya, dan kemudian diam / jangan menafsiri sendiri) - Imam Robi`ah (Guru Imam Malik Rohimahumalah) اْلإِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَيَجِبُ عَلَيَّ وَعَلَيْكَ اْلإِيْمَانُ بِذَلِكَ كُلِّهِ ﴿هو الله :
٣٨﴾ (Istiwa` itu sudah ma`lum adanya (karena tertulis dalam Al-Qur`an), caranya tidak bisa dijangkau dengan akal adanya, saya dan kamu wajib beriman seperti itu)
- Imam Abu Hanifah Rohimahullah
نَقِرُّ بِأَنَّ اللهَ تَعَالَى عَلَى اْلعَرْشِ اسْتَوَى غَيْرَ اَنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ وَهُوَ حَافِظُ اْلعَرْشِ وَغَيْرِ الْعَرْشِ مِنْ غَيْرِ احْتِيَاجٍ ﴿هو الله
: ٢٢
﴾ (Kita mengakui bahwa Allah bersemayam (Istiwa`) pada `Arsy bukan karena butuh pada `Arsy dan menetap pada `Arsy. Dia itu pemelihara `Arsy dan juga pemelihara selain `Arsy)
- Imam Malik Rohimahullah اَلإِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَاْلإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ (Istiwa` itu sudah diketahui adanya di dalam Al-Qur`an, caranya yang tidak bisa diterima akal adanya, iman dengan adanya Istiwa` itu wajib, dan bertanya tentang Istiwa` itu bid`ah)
- Imam Syafi`i Rohimahullah
آمَنْتُ بِاللهِ وَبِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ مِنْ غَيْرِ تَشْبِيْهٍ وَلاَ تَمْثِيْلٍ وَلاَ تَعْطِيْلٍ وَلاَ تَكْيِيْفٍ ، لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ ﴿هو لله : ٢٠﴾
(Aku iman pada Allah, dan pada apa-apa yang datang dari Allah sesuai kehendak Allah tanpa menyerupakan, menyamakan, mengosongkan dan membayangkan caranya. Tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan-Nya. Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat)
- Imam Ghozali Rohimahullah اِذَا اسْتَحَالَ اَنْ تَعْرِفَ نَفْسَكَ بِكَيْفِيَّةٍ اَوْ اَيْنِيَّةٍ فَكَيْفَ يَلِيْقُ بِعُبُوْدِيَّتِكَ اَنْ تَصِفَ الرُّبُوْبِيَّةَ بِأَيْنَ اَوْ كَيْفَ وَهُوَ مُقَدَّسٌ عَنِ اْلأَيْنِ وَاْلكَيْفِ ﴿هو الله : ٣٩﴾ )Apabila kamu mustahil bisa mengetahui dimana dan seperti apa ruhmu, apakah kira-kira kamu layak dengan sifat kehambaanmu itu bila kamu mensifati Tuhanmu dengan kata dimana dan seperti apa? Padahal Dia itu Maha Suci dari kata dimana dan seperti apa?)
- Imam Ahmad bin Hanbal Rohimahullah نُؤْمِنُ بِهَا وَنُصَدِّقُ بِهَا وَلاَ كَيْفَ وَلاَ مَعْنَى (Kita beriman pada ayat itu dan kita membenarkannya tanpa dibarengi kata seperti apa dan ma`nanya apa)
6) Orang yang menafsiri “'Alal 'Arsyi” dengan "Fauqol 'Arsyi" (mengganti “'Ala” dengan “Fauqo” yang bahasa Indonesia-nya tetap sama yaitu "Di Atas") tidak bisa keluar dari dua kategori yaitu kafir dan mu'min, sebabnya adalah : a. Jika penafsiran tersebut bermaksud "Tajsim" (menetapkan jisim pada diri Allah sehingga ia bertempat di atas `Arsy) dan "Ihathoh" (membatasi diri Allah di dalam suatu tempat tertentu yaitu 'Arsy) dan "Tasybih" (menyerupakan di atas 'Arsy Allah dengan di atas buminya makhluk) maka jelas kafirnya orang tersebut karena dia tidak beriman pada ayat : لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ Dan ayat : وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا اَحَدٌ b. Jika penafsiran tersebut bermaksud "Tanzih" (mensucikan Allah) yakni "Fauqol 'Arsyi" yang layak bagi Allah yaitu : لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ (Tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan Dia, Dia Maha Mendengar Lagi Maha Melihat) tanpa ada Tasybih, Tamtsil dan Ta'thil maka jelas mukminnya orang tersebut 7) Golongan Ahlus Sunah Wal Jama'ah meyakini bahwa Allah Ta'ala Maha Luhur dan Maha Agung sebagaimana dalam firman-Nya : وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ ﴿البقرة : ٢٥٥﴾ (Dan Allah tidak merasa berat menjaga keduanya. Dan Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar) Tetapi bukan luhur yang menetapkan arah luhur ("Jihatul 'Ulwi") karena menetapkan arah pada Allah itu sama dengan menetapkan tempat bagi-Nya, dan menetapkan tempat bagi-Nya adalah sama dengan menetapkan Jisim padanya pula. Dari situlah maka menetapkan arah itu tidak dibenarkan oleh Al-Qur`an. Jadi berbeda sekali antara menetapkan arah pada Allah dan menetapkan sifat luhur pada-Nya. Karena menetapkan arah (Al-Jihat) itu akan berdampak pada menetapkan tempat dan menetapkan jisim yang bisa menyebabkan kufur. Sedangkan menetapkan luhur (Al-`Uluwi) maka dalam kalimat luhur itu tersimpan dua kemungkinan (Ihtimal) yakni kemungkinan “`Uluwwul Makani” yakni luhurnya tempat seperti ucapan : “Zaed duduk di atas kursi” dan ini muhal bagi Allah. Dan adapula kemungkinan “`Uluwwur Rutbah” yakni luhurnya pangkat dan kedudukan seperti firman Allah : “Rosul-Rosul itu kami luhurkan sebagian mereka di atas sebagian yang lain”
a. Sifat Istiwa` (bersemayam). Karena Allah berfirman : اَلرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى ﴿طه : ٤﴾ (Tuhan Yang Maha Pemurah bersemayam pada `Arsy)
b. Sifat Maji` (Datang). Karena Allah berfirman : وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا ﴿الفجر : ٢٢﴾ (Dan datanglah Tuhanmu, sedangkan Malaikat berbaris-baris)
c. Sifat Nuzul (Turun). Karena Nabi bersabda : اِذَا مَضَى شَطْرُ اللَّيْلِ نَزَلَ رَبُّنَا اِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا (Apabila separuh dari waktu malam telah lewat maka turunlah tuhan kita ke langit yang paling dekat dengan dunia) Akan tetapi kita meyakini bahwa :
1) - Dzatnya Allah bukan jisim dan Istiwa`nya dzat yang bukan jisim itu tidak boleh disamakan dengan Istiwa`nya dzatnya yang berjisim - Dzatnya Allah bukan jisim dan Maji`nya dzat yang bukan jisim itu tidak boleh disamakan dengan Maji`nya dzatnya yang berjisim - Dzatnya Allah bukan jisim dan Nuzulnya dzat yang bukan jisim itu tidak boleh disamakan dengan Nuzulnya dzatnya yang berjisim.
2) Dzatnya Allah itu tidak sama dengan dzatnya makhluk (Dzatuhu Mukholafahl Lidzatil Hawadits) maka sifat-Nya juga tidak sama dengan sifatnya makhluk (Sifatuhu Mukholafah Lisifatil Hawadits). Semua sifat-sifatnya Allah seperti Qudrot, Irodat, Ilmu, Hayat, Sama`, Bashor dan Kalam itu tidak sama dengan sifat Qudrot, Irodat, Sama` dan seterusnya yang dimiliki makhluk.
3) Istiwa`nya Allah pada `Arys adalah Istiwa` yang layak bagi dzatnya Allah, jadi tidak boleh ada “Tasybih” (penyerupaan Istiwa`nya Allah dengan Istiwa`nya makhluk). Tidak boleh ada “Tamtsil” (persamaan Istiwa`nya Allah dengan Istiwa`nya makhluk). Dan tidak boleh ada “Ta`thil” (pengosongan dan peniadaan Istiwa` itu sama sekali pada Allah).
4) Istiwa`nya Allah ta`ala itu “Ghoiru Mukayyafin” (tidak boleh diterka-terka seperti apa bentuknya) karena dzatnya Allah itu Mukholafah Lilhawaditsi maka sifatnya juga Mukholafah Lilhawaditsi. Jadi berbeda dengan Istiwa`nya jisim yang mesti “Mukayyafin” (bisa dibayangkan bentuknya)
5) Kata Istiwa` di dalam Al-Qur`an tidak boleh ditafsiri oleh siapapun menurut selera sendiri tetapi harus menunggu tafsiran dari Nabi SAW karena hanya beliau yang mendapat mandat dari Allah utuk menafsiri Al-Qur`an. Allah ta`ala berfirman :
( وَاَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ بِهِ ﴿النحل : ٤٤
Artinya : “Dan kami turunkan Al-Qur`an kepadamu agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” Jadi ketika ada ayat yang “Auhamat Tasybih” (membayang-kan adanya penyerupaan Allah) dan Nabi tidak menjelaskan tafsirnya maka kita harus diam (sukut) dan menyerahkan tafsir itu kepada Yang Maha Kuasa (At-Tafwidh Ilallah) seperti yang dilaku-kan para ulama salaf kita. Inilah komentar mereka (para Salafus Sholihin) tentang Istiwa` :
- Imam Sufyan bin `Uyainah Rohimahullah كُلُّ مَا وَصَفَ اللهُ بِهِ نَفْسَهُ فِى كِتَابِهِ فَتَفْسِيْرُهُ تِلاَوَتُهُ وَالسُّكُوْتُ عَلَيْهِ ﴿هو الله
: ٣٨﴾ (Seluruh sifat Allah yang Allah telah mensifatinya sendiri di dalam Al-Qur`an maka tafsir / arti dari ayat tersebut adalah membaca-nya, dan kemudian diam / jangan menafsiri sendiri) - Imam Robi`ah (Guru Imam Malik Rohimahumalah) اْلإِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَيَجِبُ عَلَيَّ وَعَلَيْكَ اْلإِيْمَانُ بِذَلِكَ كُلِّهِ ﴿هو الله :
٣٨﴾ (Istiwa` itu sudah ma`lum adanya (karena tertulis dalam Al-Qur`an), caranya tidak bisa dijangkau dengan akal adanya, saya dan kamu wajib beriman seperti itu)
- Imam Abu Hanifah Rohimahullah
نَقِرُّ بِأَنَّ اللهَ تَعَالَى عَلَى اْلعَرْشِ اسْتَوَى غَيْرَ اَنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ وَهُوَ حَافِظُ اْلعَرْشِ وَغَيْرِ الْعَرْشِ مِنْ غَيْرِ احْتِيَاجٍ ﴿هو الله
: ٢٢
﴾ (Kita mengakui bahwa Allah bersemayam (Istiwa`) pada `Arsy bukan karena butuh pada `Arsy dan menetap pada `Arsy. Dia itu pemelihara `Arsy dan juga pemelihara selain `Arsy)
- Imam Malik Rohimahullah اَلإِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَاْلإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ (Istiwa` itu sudah diketahui adanya di dalam Al-Qur`an, caranya yang tidak bisa diterima akal adanya, iman dengan adanya Istiwa` itu wajib, dan bertanya tentang Istiwa` itu bid`ah)
- Imam Syafi`i Rohimahullah
آمَنْتُ بِاللهِ وَبِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ مِنْ غَيْرِ تَشْبِيْهٍ وَلاَ تَمْثِيْلٍ وَلاَ تَعْطِيْلٍ وَلاَ تَكْيِيْفٍ ، لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ ﴿هو لله : ٢٠﴾
(Aku iman pada Allah, dan pada apa-apa yang datang dari Allah sesuai kehendak Allah tanpa menyerupakan, menyamakan, mengosongkan dan membayangkan caranya. Tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan-Nya. Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat)
- Imam Ghozali Rohimahullah اِذَا اسْتَحَالَ اَنْ تَعْرِفَ نَفْسَكَ بِكَيْفِيَّةٍ اَوْ اَيْنِيَّةٍ فَكَيْفَ يَلِيْقُ بِعُبُوْدِيَّتِكَ اَنْ تَصِفَ الرُّبُوْبِيَّةَ بِأَيْنَ اَوْ كَيْفَ وَهُوَ مُقَدَّسٌ عَنِ اْلأَيْنِ وَاْلكَيْفِ ﴿هو الله : ٣٩﴾ )Apabila kamu mustahil bisa mengetahui dimana dan seperti apa ruhmu, apakah kira-kira kamu layak dengan sifat kehambaanmu itu bila kamu mensifati Tuhanmu dengan kata dimana dan seperti apa? Padahal Dia itu Maha Suci dari kata dimana dan seperti apa?)
- Imam Ahmad bin Hanbal Rohimahullah نُؤْمِنُ بِهَا وَنُصَدِّقُ بِهَا وَلاَ كَيْفَ وَلاَ مَعْنَى (Kita beriman pada ayat itu dan kita membenarkannya tanpa dibarengi kata seperti apa dan ma`nanya apa)
6) Orang yang menafsiri “'Alal 'Arsyi” dengan "Fauqol 'Arsyi" (mengganti “'Ala” dengan “Fauqo” yang bahasa Indonesia-nya tetap sama yaitu "Di Atas") tidak bisa keluar dari dua kategori yaitu kafir dan mu'min, sebabnya adalah : a. Jika penafsiran tersebut bermaksud "Tajsim" (menetapkan jisim pada diri Allah sehingga ia bertempat di atas `Arsy) dan "Ihathoh" (membatasi diri Allah di dalam suatu tempat tertentu yaitu 'Arsy) dan "Tasybih" (menyerupakan di atas 'Arsy Allah dengan di atas buminya makhluk) maka jelas kafirnya orang tersebut karena dia tidak beriman pada ayat : لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ Dan ayat : وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا اَحَدٌ b. Jika penafsiran tersebut bermaksud "Tanzih" (mensucikan Allah) yakni "Fauqol 'Arsyi" yang layak bagi Allah yaitu : لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ (Tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan Dia, Dia Maha Mendengar Lagi Maha Melihat) tanpa ada Tasybih, Tamtsil dan Ta'thil maka jelas mukminnya orang tersebut 7) Golongan Ahlus Sunah Wal Jama'ah meyakini bahwa Allah Ta'ala Maha Luhur dan Maha Agung sebagaimana dalam firman-Nya : وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ ﴿البقرة : ٢٥٥﴾ (Dan Allah tidak merasa berat menjaga keduanya. Dan Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar) Tetapi bukan luhur yang menetapkan arah luhur ("Jihatul 'Ulwi") karena menetapkan arah pada Allah itu sama dengan menetapkan tempat bagi-Nya, dan menetapkan tempat bagi-Nya adalah sama dengan menetapkan Jisim padanya pula. Dari situlah maka menetapkan arah itu tidak dibenarkan oleh Al-Qur`an. Jadi berbeda sekali antara menetapkan arah pada Allah dan menetapkan sifat luhur pada-Nya. Karena menetapkan arah (Al-Jihat) itu akan berdampak pada menetapkan tempat dan menetapkan jisim yang bisa menyebabkan kufur. Sedangkan menetapkan luhur (Al-`Uluwi) maka dalam kalimat luhur itu tersimpan dua kemungkinan (Ihtimal) yakni kemungkinan “`Uluwwul Makani” yakni luhurnya tempat seperti ucapan : “Zaed duduk di atas kursi” dan ini muhal bagi Allah. Dan adapula kemungkinan “`Uluwwur Rutbah” yakni luhurnya pangkat dan kedudukan seperti firman Allah : “Rosul-Rosul itu kami luhurkan sebagian mereka di atas sebagian yang lain”
=-- e
õ
f
--=
BENARKAH IBNU ABBAS R.A
PERNAH BERKATA : “ALLAHU FAUQOL `ARSYI” ?
Kata golongan Wahabi
ada riwayat bahwa Ibnu `Abbas R.A
ketika menafsiri ayat اَلرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى ia berkata : اِسْتَقَرَّ عَلَى اْلعَرْشِ وَقَدِ امْتَلأَ بِهِ ﴿هو الله : ٢١﴾ (Dia menetap di atas `Arsy dan memenuhinya) Jawab kita : Hadits di atas adalah dari riwayat Abu Shalih dan Muhammad bin Marwan Al-Kilabi. Menurut AL-Baihaqi riwayat mereka berdua ditinggalkan oleh para Ahli Ilmu Hadits. Para Ahli Ilmu Hadits tidak mau sama sekali berhujjah dengan hadits-hadits riwayat keduanya, karena banyak sekali kemungkaran-kemungkaran dan kebohongan-kebohongan yang mereka perbuat dalam riwayatnya itu, bahkan Ali bin Al-Madini pernah berkata : “Aku mendengar Yahya bin Sa`id Al-Qothon bercerita dari Sufyan, kata Sufyan begini : “Al-Kilabi berkata : Abu Salih pernah berkata kepadaku begini : “Seluruh hadits-hadits yang say sampaikan kepadamu itu murni bohong.” Al-Kilabi berkata lagi : “Abu Shalih pernah berkata pula kepadaku begini : “Awas, apa-apa yang kamu terima dariku dari Ibnu `Abbas itu janganlah kamu sampaikan lagi pada orang lain” (Huwallah : 21)
ketika menafsiri ayat اَلرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى ia berkata : اِسْتَقَرَّ عَلَى اْلعَرْشِ وَقَدِ امْتَلأَ بِهِ ﴿هو الله : ٢١﴾ (Dia menetap di atas `Arsy dan memenuhinya) Jawab kita : Hadits di atas adalah dari riwayat Abu Shalih dan Muhammad bin Marwan Al-Kilabi. Menurut AL-Baihaqi riwayat mereka berdua ditinggalkan oleh para Ahli Ilmu Hadits. Para Ahli Ilmu Hadits tidak mau sama sekali berhujjah dengan hadits-hadits riwayat keduanya, karena banyak sekali kemungkaran-kemungkaran dan kebohongan-kebohongan yang mereka perbuat dalam riwayatnya itu, bahkan Ali bin Al-Madini pernah berkata : “Aku mendengar Yahya bin Sa`id Al-Qothon bercerita dari Sufyan, kata Sufyan begini : “Al-Kilabi berkata : Abu Salih pernah berkata kepadaku begini : “Seluruh hadits-hadits yang say sampaikan kepadamu itu murni bohong.” Al-Kilabi berkata lagi : “Abu Shalih pernah berkata pula kepadaku begini : “Awas, apa-apa yang kamu terima dariku dari Ibnu `Abbas itu janganlah kamu sampaikan lagi pada orang lain” (Huwallah : 21)
=--e
õ
f
--=
TENTANG HADITS JARIYAH
Kelompok Wahabi dalam
membela keyakinannya bahwa Allah ta`ala bertempat di atas `Arsy itu sering pula
bertameng dengan hadits Jariyah. Seperti apa haditsnya?
Mari kita simak :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهَا (اَيْ لِلْجَارِيَةِ) اَيْنَ اللهُ ؟ قَالَتْ فِى السَّمَآءِ ، قَالَ : مَنْ اَنَا ؟ قَالَتْ اَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ ، قَالَ اَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ ﴿رواه مسلم فى كتاب المساجد عن معاوية بن الحكم السلمى﴾
(Rosulullah SAW pernah menanyai seorang jariyah (budak perempuan) : “Dimanakah Allah?” Jawabnya : “Ia di langit”. Rosulullah SAW bertanya lagi :
“Siapa saya?” Jawabnya : “Sampean Rosulullah” Lalu Rosulullah bersabda : “Merdeka-kanlah dia, dia itu jariyah muknimah)
عَنْ رَجُلٍ مِنَ اْلأَنْصَارِ اَنَّهُ جَاءَ بِأَمَةٍ سَوْدَاءَ ، فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، اِنَّ عَلَيَّ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً ، فَإِنْ كُنْتَ تَرَى هَذِهِ مُؤْمِنَةً فَأَعْتِقُهَا ، فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَتَشْهَدِيْنَ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ ؟ قَالَتْ : نَعَمْ ، قَالَ : أَتَشْهَدِيْنَ أَنِّى رَسُوْلُ اللهِ ؟ قَالَتْ : نَعَمْ ، قَالَ : أَتُؤْمِنِيْنَ بِالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ ؟ قَالَتْ : نَعَمْ ، قَالَ : اَعْتِقْهَا ﴿رواه احمد ورجاله رجال الصحيح﴾
(Dari seorang laki-laki Anshar bahwa ia datang menghadap Nabi SAW dengan membawa seorang amat negro, ia berkata : “Wahai Rosulullah, saya memiliki budak perempuan mukminah, jika engkau melihat bahwa budak ini memang mukminah aku akan memerdekakannya. Lalu beliau bertanya kepada budak itu : “Apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?” Ia menjawab : “Ya”. Beliau bertanya lagi : “Apakah engkau bersaksi bahwa aku utusan Allah?” Ia menjawab : “Ya”. Beliau bertanya pula : “Apakah kamu iman terhadap bangkitnya (seluruh makhluk) setelah mati ?” Ia menjawab : “Ya”. Lalu beliau bersabda : “Merdekakanlah dia” Jawaban Golongan Ahlus Sunah Wal Jama`ah : 1. Pertanyaan “Aenallah” (dimana Allah?) yang kemudian dijawab “Fissama`i” (di langit) adalah bukan harga mati untuk menetapkan iman seseorang, yang menjadi ukuran iman seseorang adalah ucapan dua kalimat syahadat, bukankah Nabi SAW bersabda :
أُمِرْتُ اَنْ اُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله – الحديث ﴿رواه البخارى﴾
(Aku diperintah memerangi orang-orang sehingga mereka bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah) Jadi kita tidak akan meniru apalagi mengikuti langkah kelompok Wahabi yang beranggapan bahwa : “Orang yang tidak tahu dimana Allah maka akan selalu sesat dan tidak akan tahu bagaimana cara beribadah yang benar”. Kalimat ini diucapkan oleh tokoh Wahabi Mekah Muhamad bin Jamil dalam bukunya Taujihat Islamiyah hal : 15 2. Pertanyaan “Aenallah” di dalam beberapa riwayat lain yang berhubungan dengan hadits ini tidak ada, yang ada adalah :
أَتَشْهَدِيْنَ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ ؟ قَالَتْ : نَعَمْ - الحديث ﴿رواه احمد ورجاله رجال الصحيح﴾
“Apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?” Ia menjawab : “Ya”. Jadi Istidlalnya kaum Wahabi dengan hadits jariyah untuk menetapkan bahwa Allah ta`ala berada di arah atas dan bertempat di atas `Arsy adalah gugur dan tidak sah.
3. Pertanyaan “Aenallah” memang hadits, tetapi tidak berarti bahwa Allah ta`ala bertempat di atas sebagian dari alam-Nya yaitu `Arsy dan Rosulullah pun tidak menanyai tentang tempatnya Allah karena Allah adalah pencipta tempat itu sendiri, bukankah Allah sudah wujud sebelum wujudnya tempat, sebelum ada tempat Alah sudah ada tanpa bertempat, dan Allah ta`ala Maha Suci dari berubah-rubah dan berganti - ganti sehingga setelah Allah menciptakan tempat pun Ia tidak bertempat dan tidak akan butuh tempat
4. Golongan Ahlus Sunah Wal Jama`ah bersatu pendapat bahwa wajib hukumnya mensucikan Allah dari sifat-sifat kejisiman, kita tidak ingin meniru langkah kaum Wahabi yang terang-terangan berangapan bahwa Allah berada di arah tertentu dan tempat tertentu. Apakah mereka tidak tahu bahwa arah dan tempat adalah bagian dari jisim itu, cobalah perhatikan jika sebuah jisim diletakkan di sisi jisim yang lain,
maka dengan sendirinya akan timbul 6 hal : yaitu adakalanya jisim yang diletakkan itu berada di atas jisim yang lain itu, atau di bawahnya, atau di kanannya, atau di kirinya, atau di depannya, atau di belakangnya. Jadi barang siapa yang menetapkan arah tertentu pada Allah maka dengan sendirinya ia menetapkan sifat kejisiman pula pada-Nya, dan jika sudah menetapkan jisim pada Allah maka tidak ada khilaf lagi dianatara para ulama tentang kekafiran orag tersebut, dan barang siapa menetapkan arah tetapi tidak menetapkan jisim maka kedua penetapannya itu akan saling berlawanan di dalam waktu yang bersamaan, ini namanya lucu alias muhal.
5. Pertanyaan “Aenallah” (Dimanakah Allah?”) yang dijawab di langit itu tidak bisa dipakai untuk menetapkan iman seseorang. Orang kristen pun kalau ditanya dimanakah Allah? Mereka akan menjawab : “Dilangit”. Apakah dengan jawaban seperti itu mereka layak dimasukkan ke dalam golongan ahli tauhid? Maha Suci Allah dari perkataan orang-orang sesat.
6. Pertanyaan “Aenallah” (Dimanakah Allah?”) yang disampai-kan oleh Rosulullah kepada seorang jariyah a`jamiyah adalah pertanyaan yang murni untuk mengesakan tuhan dan jawaban jariyah pun mestinya harus murni untuk menafikan syirik, namun karena pertanyaannya adalah “Dimanakah Allah?” yang seakan menanyakan tempatnya, yang kemudian jawabannya pun adalah “Dilangit”, yang seakan menjawab tempatnya, maka kedua pertanyaan dan jawaban itu tidak lagi berfaidah mengesakan tuhan maupun menafikan kesyirikan, sehingga kita menetapkan bahwa pertanyaan di atas sangat mungkin tidak keluar dari diri Nabi SAW dengan bentuk kalimat yang seperti itu, tetapi pertanyaan itu disampaikan oleh rowi dalam bentuk makna yang ia ukur dengan kefahamannya sendiri, kendati demikian jika sah menurut lughot arab bahwa pertanyaan semacam “Aenallah?” itu mengandung pengertian untuk menentukan dzat yang disembah (Al-Ma`bud) bukan untuk menentukan tempatnya dzat disembah (Al-Jihat Wal Makan) maka kedua pertanyaan dan jawaban itu menjadi pas dan sesuai harapan. Seperti umpamanya zaed bertanya kepada seorang anak tentang yang mana yang menjadi bapaknya itu, maka pertanyaannya akan seperti ini? Zaed :
يَا وَلَدُ ، اَيْنَ اَبُوْكَ مِنْ هَؤُلاَءِ اْلقَوْمِ ؟ (
“Hai anak, dimanakah bapakmu diantara orang-orang yang duduk itu?”) Anak : هَذَا اَبِى (“Itu dia bapakku”) Pada pertanyaan semacam ini jelas Zaed tidak menanyakan tempat ayah anak itu, akan tetapi ketentuan orangnya, contoh yang lain ialah tersebut dalam Hadits Qudsi : Bahwa di hari kiamat Allah menyeru orang-orang yang ahli shalat malam begini : اَيْنَ الَّذِيْنَ كَانَتْ تَتَجَافَى جُنُوْبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ ؟ (Diamanakah orang-orang yang merenggangkan lambung-lambungnya dari tempat-tempat tidurnya untuk shalat malam?) Maksud dari pertanyaan ini tentu saja begini : “Hai orang-orang yang rajin meninggalkan tempat tidurnya untuk bangun dan shalat malam, Kemarilah kalian!” kemudian mereka pun semuanya bangun. Pertanyaan ini jelas tidak minta dijawab : “Disinilah tempat kami semua wahai Tuhan” tetapi jawabnya adalah : “Ya, kami semua adalah orang-orang yang rajin shalat malam, dan sekarang mau datang memenuhi panggilan Tuan”. Selama kota Mekah dikuasai kaum pemberontak Wahabi yang berlangsung 10 tahun itu, Gubernur Hijaz yang lama yang bermadzhab Syafi’i diusir keluar dari tanah Hijaz termasuk juga di dalamnya para mukimin baik yang sudah lama maupun yang baru datang di Mekah. Mbah Idris bersama anknya pun harus pergi dari tanah suci itu untuk kembali ke tanah air. Setelah sampai di tanah air Mbah Idris mukim di kampungnya sendiri (Lumpur), Umar mukim di Pengabean, dan Amir bermukim di Semarang bersama istri dan mertuanya sampai akhirnya dia diminta oleh Mbah Adam dari Spait Pekalongan untuk tinggal di Simbang Kulon Pekalongan yang waktu itu masih menjadi desa yang gelap dari hidayah.
Mari kita simak :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهَا (اَيْ لِلْجَارِيَةِ) اَيْنَ اللهُ ؟ قَالَتْ فِى السَّمَآءِ ، قَالَ : مَنْ اَنَا ؟ قَالَتْ اَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ ، قَالَ اَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ ﴿رواه مسلم فى كتاب المساجد عن معاوية بن الحكم السلمى﴾
(Rosulullah SAW pernah menanyai seorang jariyah (budak perempuan) : “Dimanakah Allah?” Jawabnya : “Ia di langit”. Rosulullah SAW bertanya lagi :
“Siapa saya?” Jawabnya : “Sampean Rosulullah” Lalu Rosulullah bersabda : “Merdeka-kanlah dia, dia itu jariyah muknimah)
عَنْ رَجُلٍ مِنَ اْلأَنْصَارِ اَنَّهُ جَاءَ بِأَمَةٍ سَوْدَاءَ ، فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، اِنَّ عَلَيَّ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً ، فَإِنْ كُنْتَ تَرَى هَذِهِ مُؤْمِنَةً فَأَعْتِقُهَا ، فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَتَشْهَدِيْنَ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ ؟ قَالَتْ : نَعَمْ ، قَالَ : أَتَشْهَدِيْنَ أَنِّى رَسُوْلُ اللهِ ؟ قَالَتْ : نَعَمْ ، قَالَ : أَتُؤْمِنِيْنَ بِالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ ؟ قَالَتْ : نَعَمْ ، قَالَ : اَعْتِقْهَا ﴿رواه احمد ورجاله رجال الصحيح﴾
(Dari seorang laki-laki Anshar bahwa ia datang menghadap Nabi SAW dengan membawa seorang amat negro, ia berkata : “Wahai Rosulullah, saya memiliki budak perempuan mukminah, jika engkau melihat bahwa budak ini memang mukminah aku akan memerdekakannya. Lalu beliau bertanya kepada budak itu : “Apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?” Ia menjawab : “Ya”. Beliau bertanya lagi : “Apakah engkau bersaksi bahwa aku utusan Allah?” Ia menjawab : “Ya”. Beliau bertanya pula : “Apakah kamu iman terhadap bangkitnya (seluruh makhluk) setelah mati ?” Ia menjawab : “Ya”. Lalu beliau bersabda : “Merdekakanlah dia” Jawaban Golongan Ahlus Sunah Wal Jama`ah : 1. Pertanyaan “Aenallah” (dimana Allah?) yang kemudian dijawab “Fissama`i” (di langit) adalah bukan harga mati untuk menetapkan iman seseorang, yang menjadi ukuran iman seseorang adalah ucapan dua kalimat syahadat, bukankah Nabi SAW bersabda :
أُمِرْتُ اَنْ اُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله – الحديث ﴿رواه البخارى﴾
(Aku diperintah memerangi orang-orang sehingga mereka bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah) Jadi kita tidak akan meniru apalagi mengikuti langkah kelompok Wahabi yang beranggapan bahwa : “Orang yang tidak tahu dimana Allah maka akan selalu sesat dan tidak akan tahu bagaimana cara beribadah yang benar”. Kalimat ini diucapkan oleh tokoh Wahabi Mekah Muhamad bin Jamil dalam bukunya Taujihat Islamiyah hal : 15 2. Pertanyaan “Aenallah” di dalam beberapa riwayat lain yang berhubungan dengan hadits ini tidak ada, yang ada adalah :
أَتَشْهَدِيْنَ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ ؟ قَالَتْ : نَعَمْ - الحديث ﴿رواه احمد ورجاله رجال الصحيح﴾
“Apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?” Ia menjawab : “Ya”. Jadi Istidlalnya kaum Wahabi dengan hadits jariyah untuk menetapkan bahwa Allah ta`ala berada di arah atas dan bertempat di atas `Arsy adalah gugur dan tidak sah.
3. Pertanyaan “Aenallah” memang hadits, tetapi tidak berarti bahwa Allah ta`ala bertempat di atas sebagian dari alam-Nya yaitu `Arsy dan Rosulullah pun tidak menanyai tentang tempatnya Allah karena Allah adalah pencipta tempat itu sendiri, bukankah Allah sudah wujud sebelum wujudnya tempat, sebelum ada tempat Alah sudah ada tanpa bertempat, dan Allah ta`ala Maha Suci dari berubah-rubah dan berganti - ganti sehingga setelah Allah menciptakan tempat pun Ia tidak bertempat dan tidak akan butuh tempat
4. Golongan Ahlus Sunah Wal Jama`ah bersatu pendapat bahwa wajib hukumnya mensucikan Allah dari sifat-sifat kejisiman, kita tidak ingin meniru langkah kaum Wahabi yang terang-terangan berangapan bahwa Allah berada di arah tertentu dan tempat tertentu. Apakah mereka tidak tahu bahwa arah dan tempat adalah bagian dari jisim itu, cobalah perhatikan jika sebuah jisim diletakkan di sisi jisim yang lain,
maka dengan sendirinya akan timbul 6 hal : yaitu adakalanya jisim yang diletakkan itu berada di atas jisim yang lain itu, atau di bawahnya, atau di kanannya, atau di kirinya, atau di depannya, atau di belakangnya. Jadi barang siapa yang menetapkan arah tertentu pada Allah maka dengan sendirinya ia menetapkan sifat kejisiman pula pada-Nya, dan jika sudah menetapkan jisim pada Allah maka tidak ada khilaf lagi dianatara para ulama tentang kekafiran orag tersebut, dan barang siapa menetapkan arah tetapi tidak menetapkan jisim maka kedua penetapannya itu akan saling berlawanan di dalam waktu yang bersamaan, ini namanya lucu alias muhal.
5. Pertanyaan “Aenallah” (Dimanakah Allah?”) yang dijawab di langit itu tidak bisa dipakai untuk menetapkan iman seseorang. Orang kristen pun kalau ditanya dimanakah Allah? Mereka akan menjawab : “Dilangit”. Apakah dengan jawaban seperti itu mereka layak dimasukkan ke dalam golongan ahli tauhid? Maha Suci Allah dari perkataan orang-orang sesat.
6. Pertanyaan “Aenallah” (Dimanakah Allah?”) yang disampai-kan oleh Rosulullah kepada seorang jariyah a`jamiyah adalah pertanyaan yang murni untuk mengesakan tuhan dan jawaban jariyah pun mestinya harus murni untuk menafikan syirik, namun karena pertanyaannya adalah “Dimanakah Allah?” yang seakan menanyakan tempatnya, yang kemudian jawabannya pun adalah “Dilangit”, yang seakan menjawab tempatnya, maka kedua pertanyaan dan jawaban itu tidak lagi berfaidah mengesakan tuhan maupun menafikan kesyirikan, sehingga kita menetapkan bahwa pertanyaan di atas sangat mungkin tidak keluar dari diri Nabi SAW dengan bentuk kalimat yang seperti itu, tetapi pertanyaan itu disampaikan oleh rowi dalam bentuk makna yang ia ukur dengan kefahamannya sendiri, kendati demikian jika sah menurut lughot arab bahwa pertanyaan semacam “Aenallah?” itu mengandung pengertian untuk menentukan dzat yang disembah (Al-Ma`bud) bukan untuk menentukan tempatnya dzat disembah (Al-Jihat Wal Makan) maka kedua pertanyaan dan jawaban itu menjadi pas dan sesuai harapan. Seperti umpamanya zaed bertanya kepada seorang anak tentang yang mana yang menjadi bapaknya itu, maka pertanyaannya akan seperti ini? Zaed :
يَا وَلَدُ ، اَيْنَ اَبُوْكَ مِنْ هَؤُلاَءِ اْلقَوْمِ ؟ (
“Hai anak, dimanakah bapakmu diantara orang-orang yang duduk itu?”) Anak : هَذَا اَبِى (“Itu dia bapakku”) Pada pertanyaan semacam ini jelas Zaed tidak menanyakan tempat ayah anak itu, akan tetapi ketentuan orangnya, contoh yang lain ialah tersebut dalam Hadits Qudsi : Bahwa di hari kiamat Allah menyeru orang-orang yang ahli shalat malam begini : اَيْنَ الَّذِيْنَ كَانَتْ تَتَجَافَى جُنُوْبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ ؟ (Diamanakah orang-orang yang merenggangkan lambung-lambungnya dari tempat-tempat tidurnya untuk shalat malam?) Maksud dari pertanyaan ini tentu saja begini : “Hai orang-orang yang rajin meninggalkan tempat tidurnya untuk bangun dan shalat malam, Kemarilah kalian!” kemudian mereka pun semuanya bangun. Pertanyaan ini jelas tidak minta dijawab : “Disinilah tempat kami semua wahai Tuhan” tetapi jawabnya adalah : “Ya, kami semua adalah orang-orang yang rajin shalat malam, dan sekarang mau datang memenuhi panggilan Tuan”. Selama kota Mekah dikuasai kaum pemberontak Wahabi yang berlangsung 10 tahun itu, Gubernur Hijaz yang lama yang bermadzhab Syafi’i diusir keluar dari tanah Hijaz termasuk juga di dalamnya para mukimin baik yang sudah lama maupun yang baru datang di Mekah. Mbah Idris bersama anknya pun harus pergi dari tanah suci itu untuk kembali ke tanah air. Setelah sampai di tanah air Mbah Idris mukim di kampungnya sendiri (Lumpur), Umar mukim di Pengabean, dan Amir bermukim di Semarang bersama istri dan mertuanya sampai akhirnya dia diminta oleh Mbah Adam dari Spait Pekalongan untuk tinggal di Simbang Kulon Pekalongan yang waktu itu masih menjadi desa yang gelap dari hidayah.
=-- e
õ
f --=
GURU-GURU MBAH IDRIS
Dalam hal ini penulis
miskin informasi tentang siapa-siapa guru Mbah Idris waktu beliau menimba ilmu
di tanah suci Mekah, tetapi jelas :
1. Sebelum menuntut ilmu di Mekah beliau sudah pernah belajar ngaji kepada bapaknya yaitu Mbah Shaleh
berbagai disiplin ilmu Syari`at seperti ilmu tauhid, fiqih, tasawwuf, dan ilmu-ilmu lain.
2. Karena beliau hampir sebaya dan seumur dengan Syekh Mahfudz At-Tarmasi di mana selisih tahun wafat beliau dan Syekh Mahfudz pun tidak berjarak begitu lama, Mbah Idris wafat tahun 1333 H dan Syekh Mahfudz wafat tahun 1338 H.
Keduanya mukim dan mengaji bersama-sama pada ulama-ulama besar Mekah, maka besar dugaan bahwa guru-guru beliau di Mekah adalah sama dengan guru-guru Syekh Mahfudz yang diantaranya adalah Al-Imam Al-Habib As-Syayid Abu Bakar bin Syattho penyusun kitab l`anatut Tholibin dan Al-Habib Assayid Zaini Dahlan, dll. Rohimahu-mullahu Warahimana Ajma’in
1. Sebelum menuntut ilmu di Mekah beliau sudah pernah belajar ngaji kepada bapaknya yaitu Mbah Shaleh
berbagai disiplin ilmu Syari`at seperti ilmu tauhid, fiqih, tasawwuf, dan ilmu-ilmu lain.
2. Karena beliau hampir sebaya dan seumur dengan Syekh Mahfudz At-Tarmasi di mana selisih tahun wafat beliau dan Syekh Mahfudz pun tidak berjarak begitu lama, Mbah Idris wafat tahun 1333 H dan Syekh Mahfudz wafat tahun 1338 H.
Keduanya mukim dan mengaji bersama-sama pada ulama-ulama besar Mekah, maka besar dugaan bahwa guru-guru beliau di Mekah adalah sama dengan guru-guru Syekh Mahfudz yang diantaranya adalah Al-Imam Al-Habib As-Syayid Abu Bakar bin Syattho penyusun kitab l`anatut Tholibin dan Al-Habib Assayid Zaini Dahlan, dll. Rohimahu-mullahu Warahimana Ajma’in
=--e
õ
f
--=
MURID-MURID MBAH IDRIS
Mbah Idris adalah
termasuk sosok ulama yang semangat dalam hal ta’allum dan ta’lim sehingga
selain mempunyai banyak guru banyak pula orang-orang yang ta`allum kepada
beliau dalam berbagai macam disiplin ilmu. Sejak masih di tanah suci, beliau
sudah biasa melayani orang-orang yang mau berbai’at Thoriqat Qodiriyah
Naqsabandiyah dan ijazah Dalailul Khoirot sehingga beliau terkenal sebagai
ulama yang menjadi jalur sanad thoriqat ini di pulau Jawa. Ini terbukti dengan
banyaknya Zairin dari berbagai daerah di Pulau Jawa yang sanad thoriqotnya
sampai dan bersambung dengan beliau, mereka datang ke makam beliau sekedar
untuk mengucap salam, membaca tahlil, membaca Al-Qur’an dan berdo’a bahkan
pernah ada salah satu zairin yang mengaku pernah mencari makam Mbah Idris dan
baru menemukannya setelah 2 tahun kemudian karena mereka mencari makam beliau
itu di plosok-plosok wilayah Cirebon, bukan di wilayah Brebes yakni di kampung
Lumpur - Losari - Brebes. Memang Kampung Lumpur, Desa Limbangan itu dahulu
masuk ke dalam wilayah Pemerintahan Kabupaten Cirebon. Mbah Idris dan
anak-anaknya pun kalau menulis nama dan alamatnya pada sampul kitab-kitab milik
mereka itu mesti ada kalimah As-syirboni sehingga orang memahami bahwa Mbah
Idris dan anak-anaknya itu orang Cirebon bukan orang Brebes. Termasuk
murid-murid beliau, adalah putra-putra beliau sendiri dan menantu-menantunya
yang ketika beliau usianya mulai udzur beliau membagi-bagi tugas kepada
anak-anaknya dan menantu -menantunya itu dengan pembagian yang serasi sekali,
yakni : 1. Kyai Amir, Kyai Dawud dan Kyai Dahlan diserahi tugas mengurus dan
mengajar di Pesantren. 2. Kyai Umar dan Kyai Abdullah Mura’i diserahi tugas
memimpin Thoriqat. 3. Kyai Kadnawi dan Kyai Imron diserahi tugas melayani
masyarakat.
=-- e
õ
f --=
MBAH IDRIS ADALAH ULAMA
SEKALIGUS SUAMI DAN AYAH YANG BIJAKSANA
Tidak banyak orang yang
bijaksana seperti Mbah Idris, selain berhasil mendidik anak-anaknya menjadi
ulama besar, beliau juga sangat bijaksana dalam memimpin keluarga, terutama
dalam mengatasi konflik intern mereka. Konon pada suatu ketika, anak dari istri
pertamanya mengalami konflik dengan istri keduanya. Pada suatu hari istri
keduanya mengolah puluhan butir kelapa untuk dibuat minyak goreng. Setelah
menjadi minyak, ia memasukkannya ke dalam blik. Maka ketika anak tirinya
mendengar bahwa sang ibu tiri memiliki banyak minyak goreng dan kebetulan anak
tirinya yang rumahnya tidak jauh dari rumahnya itu tengah membutuhkan minyak
itu untuk kebutuhan dapur. Dia datang ke rumah ibu tirinya untuk minta bagian
minyak kepada ayahnya. Karuan saja permintaannya itu ditolak secara halus oleh
ibu tiri dengan alasan bahwa minyak itu belum ditaker sehingga masih belum
diketahui berapa botol seluruhnya. Mendengar pertikaian antara anak dengan
istrinya itu, beliau segera mengambil kebijakan yaitu dengan cara menyuruh
istrinya pergi ke warung guna membeli kebutuhan rumah tangga. Disaat istrinya
pergi itulah, Mbah Idris cepat-cepat mengambil separo dari minyak yang ada di
blik itu untuk diberikan kepada anaknya. Kemudian, agar istrinya tidak curiga,
beliau mengambil kebijakan yang kedua yaitu dengan cara menumpahkan air perasan
daun kapuk randu di sekitar blek minyak. Konon ketika istrinya datang dari
warung, dia kaget melihat tumpahan minyak, kemudian berkata : Mbah Idris :
“Kamu tidak hati-hati menyimpan minyak ya?” Istri : “Ada apa sih Kekaine kok
ribut?” Mbah Idris : “Lihat tuh bleknya, tadi guling diserang ayam jago. Caramu
menaruh blek memang sembrono dan kurang hati-hati.” Istri : “Aduh Kekaine, tadi
sebelum saya pergi ke warung si Sabtani minta minyak tetapi tidak saya kasih
karena belum ditaker.” Mbah Idris : “Lain kali kalau si Sabtani minta apa-apa
yang seperti tadi kepadamu segera dikasih ya? dia itu wali perempuan” (sambil
memberi nasihat kepada istrinya. Mbah Idris mengurug minyak palsu itu dengan
debu sampai tidak kelihatan lagi).
=-- e
õ
f --=
KAROMAH DAN WAFAT MBAH
IDRIS
Setelah lama berjuang,
maka sebagai orang alim, beliau telah berhasil membimbing umatnya menjadi
masyarakat yang agamis. Sebagai Kyai Pesantren, beliau telah mencetak santrinya
hiangga banyak yang menjadi ulama yang siap berkiprah di masyarakat dan juga
mencetak santri-santrinya menjadi zu’ama yang “rame ing gawe sepi ing pamrih”.
Dan sebagai seorang ayah, beliau telah berhasil mendidik anak-anaknya menjadi
anak yang alim, Shaleh dan beradab yang siap menjadi pengganti dan penerus
perjuangan orang tuanya. Setelah beliau melaksanakan tugas-tugas itu yang
tentunya dengan segala kekurangan dan kelemahan karena beliau adalah manusia
biasa, maka pada hari Jum`at kliwon, 29 Syawal 1333 H beliau dipanggil oleh
sang penciptanya, Allah SWT. “Innalillahi wa innailaihi rojiun”. Kemudian
setelah beliau wafat maka dimanakah beliau dimakamkan? Inilah barangkali yang
kita anggap sebagai salah satu dari sekian banyak karomah beliau, karena
tatkala beliau sakit keras yang sampai membawa kematiannya, beliau sempat
berpesan kepada keluarganya. Gambaran pesan beliau dalam bentuk dialog, kurang
lebihnya seperti ini : Mbah Idris : “Nanti kalo aku meninggal kubur saja di
bawah kedung yang ada di tengah-tengah sungai yang ada di sebelah utara rumah”
(maksudnya tikungan sungai yang ada di kampung Bantariak) Keluarga : “Kenapa
harus di sana mbah? Apa tidak sebaiknya di sebelah barat masjid kita saja?” Mbah
Idris : “Jangan, aku ini orang yang tidak ada apa-apanya tidak pantas jika
dikubur di situ.” Keluarga : “Baik Mbah, pesan panjenengan akan kami
laksanakan” Konon, persis di hari kematian beliau, kedung sungai yang tadinya
sangat dalam itu mendadak kering kerontang, sehingga jasad beliau dapat
dikebumikan tepat di tengah-tengahnya sungai sesuai dengan pesan beliau. Kini,
selain keluarga beliau, dimakam-kan pula jenazah warga masyarakat lain yang
bukan keluarga. Dengan kata lain, di sekitar makam beliau, sekarang menjadi
pemakaman umat Islam Desa Limbangan yang pedukuhannya mencakup Lumpur,
Lancipan, Karangmalang, Bantariak, Limbangan, Karangsentong dan Limbangsari.
=--e
õ
f --=
MAKAM MBAH IDRIS
Makam Mbah Idris selama
berpuluh-puluh tahun lamanya, ramai diziarahi orang meskipun tanpa pagar dan
cungkub seperti kebanyakan makam orang-orang alim pada umumnya. Barulah ketika
ada rombongan para Kyai dari Jawa Timur datang berziarah ke makam beliau untuk
bertahlil, berdo’a dan bertawasul, rombongan itu mengusulkan kepada keluarga
beliau, agar mereka diberi ijin membangun pagar dan cungkub sekedar untuk
kenyamanan berziarah kemudian oleh keluarga usul mereka itu diterima. Bangunan
cungkub pun segera dilaksanakan waktu itu juga dengan bentuk seadanya. Selanjutnya,
bangunan cungkub itu mengalami renovasi yang berulang-ulang. Renovasi pertama
dilakukan oleh keluarga sendiri yang diseponsori oleh Nyai Rumiah binti Umar
bin Idris dan renovasi kedua dilaksanakan pada tahun 2011 M/ 1432 H oleh
masyarakat Desa Limbangan dengan bentuk bangunan yang cukup mewah, seperti yang
kita lihat sekarang ini, yang kepanitiaannya diketuai oleh KH. Mahdlori bin
Muhtadi dan Sekretaris H. Drs. Muflihun El-Mas`udi. Suksesnya renovasi yang
kedua ini, juga berkat dukungan penuh dari Pemerintah Desa Limbangan di bawah
kepemimpinan Bpk. Masrur, SH,I bin Syahudi (Saudi) bin Akhyar bin Thohir (Tair)
selaku Kepala Desa (kuwu).
=-- e
õ
f --=
PENINGGALAN DAN PUSAKA
MBAH IDRIS
Cukup banyak shodaqoh
jariyah yang menjadi peninggalan Mbah Idris, yang sampai sekarang masih
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Pedukuhan Lumpur khususnya dan umat islam
pada umumnya. Adapun jenis peninggalannya ialah : 1. Masjid Jami’ Lumpur Kalau
kita menelaah riwayat hidup Mbah Idris maka tidak dapat dipisahkan dengan
Masjid Jami’nya. Masjid yang sekarang bernama Jami’ Al-Idris yang terletak di
ujung selatan Kampung Lumpur itu, dahulu dibanggun sendri oleh Mbah Idris
dengan ukuran kurang lebih 7 x 7 M dan seluruh bahan bangunan yang digunakannya
adalah dari kayu. Lantainya yang kira-kira 1 M dari permukaan tanah pun terbuat
dari kayu juga sehingga membuat masjid ini nyaman ditempati karena ada longan
(kolong) nya, sehingga udara segar bisa masuk dari segala arah melalui
celah-celah kayu itu. Ketika buku ini ditulis, tahun 1432 H/ 2011 M masjid ini
sudah mengalami renovasi sebanyak 4 kali. Pertama pada tahun 1880 M, renovasi
ini dilaksanakan oleh Mbah Idris sendiri atas usul dari Kyai Usman bin Thayib yang
terkenal dengan sebutan Mbah Banjir dan menantu Kyai Syu’aib Prapag, mengingat
keadaan masjid yang waktu itu sudah mulai doyong (miring) akibat hantaman
banjir. Pada renovasi ini seluruh bahan banggunan yang asalnya kayu diganti
dengan tembok kecuali pintu, jendela dan atap dan luasnya ditambah menjadi
kurang lebih 15 x 15 M. Kedua, tahun 1914 M, renovasi ditahun ini selain
memperluas halaman masjid yang asalnya 15 x 15 M kini luasnya menjadi 20 x 20 M
dan bentuknya diperindah lagi. Ketiga, tahun 1971 M, karena jama’ah semakin
membludak maka perluasan halaman melebihi perluasan yang dulu. Pada renovasi
ini, penambahan halaman dilakukan disebelah barat yakni seluas 8 x 20 M / 8 saf
Keempat, tahun 2006 M, jam’ah jum’at ditahun ini banjir sampai kekanan dan
kekiri masjid sehingga luas masjid yang dahulu 20 x 20 M, kini diperluas lagi
dengan penambahan halaman yang sanggat mencolok yaitu 50 x 50 M dengan bentuk
banggunan yang modern mirip model bangunan masjid di timur tengah
(negara-negara arab) yang ada sekarang. Meskipun renovasi dilakukan
berulang-ulang namun bekas-bekas bangunan lama yang asli masih dapat dilihat,
diantaranya adalah beberapa pintu mimbar, mustaka dan juga tasbih besar yang
terbuat dari kayu jati. 2. Mimbar Di dalam masjid jami’ Lumpur, masih terdapat
peninggalan Mbah Idris yang berupa mimbar. Mimbar ini berbentuk seperti kursi
besar yang dibuat tinggi, di atasnya dipasang cungkub dan di bawahnya dipasang
4 buah roda sehingga sewaktu-waktu dapat dipindahkan ke tempat manapun yang
diingginkan. Mimbar ini sampai sekarang masih tetap ada, terawat dan tidak
diubah bentuknya kecuali perbaikan-perbaikan kecil saja. 3. Tasbih Barang ini
termasuk salah satu dari peninggalan Mbah Idris yang juga masih dapat kita
saksikan sampai sekarang. Bilangan butirannya ada 100 butir, terbuat dari bahan
kayu jati dan diletakkan di pengimaman masjid. 4. Mustaka Mustaka adalah benda
unik berbentuk kerucut dan biasa dipasang di atap masjid yang paling atas.
Konon, mustaka yang dipasang di atas masjid Lumpur adalah sama dengan
mustaka-mustaka lain yang lazim dipasang diatas atap-atap masjid. Pada zaman
dahulu, biasanya mustaka terbuat dari tembikar dan diberi ukiran-ukiran
tertentu yang kalau kita amati lebih dekat lagi maka akan tampak banyak sekali
corak baik yang diberi motif-motif lukisan timbul yang beraneka ragam, yang
kalau kita renungkan mungin ada maksud-maksud tertentu dan mengandung falsafat
yang dalam. Sayang sekali, kita bukan ahli purbakala, jadi tidak mampu memberi
tafsir apa-apa terhadap maksud dari lukisan dan ukiran mustaka itu. 5.
Pesantren Salah satu peninggalan Mbah Idris yang lainnya adalah Pesantren
Lumpur yang barangkali merupakan salah satu dari Pesantren tertua yang ada di
Indonesia.
PESANTREN LUMPUR
Kalau kita berbicara
Pesantren Lumpur maka mau tidak mau, kita harus mengetahui terlebih dahulu
sedikit dari hakekat Pesantren itu sendiri, sejarahnya dan baru kemudian
membahas perjalanan Pesantren Lumpur. 1. Hakekat Pesantren Kata “Pesantren”
berasal dari dua kata, yang pertama yaitu “Pe” yang diberi akhiran “N” sesudah
kata “Santri” dan yang kedua adalah kata “Santri”. Santri dalam bahasa kawi
berarti orang suci dan “Pe” yang ditaruh di awal kata dengan “N” yang ditaruh
di akhir, sering diartikan tempat, contoh : “Pawudon” artinya tempat berwudlu.
“Pawestren” artinya tempat orang-orang wanita. “Pasujudan” artinya tempat
bersujud. “Buku Pasolatan” artinya buku tempat orang-orang belajar shalat dan
sebagainya. Jadi kata pesantren artinya rumah besar tempat orang-orang suci
menuntut ilmu, murid-murid yang belajar di pesantren disebut orang suci adalah
karena mereka di dalam menuntut ilmu agama sama sekali tidak dibarengi niat
mencari sesuatu yang bersifat sementara dan fana, seperti mencari ijazah,
pekerjaan di kantor, Pemerintah, di pabriknya cina, ketenaran, dan hal-hal lain
yang bersifat duniawi yang fana itu. Justru yang mereka cari adalah ridho Allah
dan kebahagiaan di akhirat kelak, yang caranya ialah dengan menuntut ilmu
syari`at hingga cukup untuk mengesahkan iman, mengesahkan ibadah dan mengesahkan
berbagai macam mu`amalah, mengerti hal-hal yang halal dan yang haram dan
berakhlak mulia sesuai yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an, dijelaskan dan
dicontohkan oleh baginda Nabi di dalam hadist-hadistnya, dan dipraktekkan oleh
ulama-ulama salaf dan kholaf. Setiap santri pasti yakin bahwa siapapun yang
mencari kebahagiaan akhirat maka kebahagiaan dunia akan ikut pula di dapat. 2.
Sejarah Pesantren Siapapun yang mempelajari sejarah pesantren maka ia akan
mengetahui dengan jelas bahwa pesantren tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan Islam bahkan pendidikan di Indonesia. Demikian dikatakan Dr. Hasan
Langgulung, Prof. Dr. Zamakhsari Dohfir, M. Natsir (mantan perdana menteri
Indonesia) dan K. H. Ali Ma`shum di dalam Majalah Bangkit terbitan Yogyakarta.
Pendapat mereka bukanlah omong kosong, karena : a. Ketika para Mubaligh dari
kawasan Timur Tengah yang terdiri dari ulama-ulama besar datang ke Indonesia
untuk berdakwah, mengajak raja-raja di seluruh kepulauan Nusantara beserta
rakyatnya agar mereka mau memeluk Islam dan meninggalkan ajaran lamanya yaitu
Atheis atau Budha atau Hindu. Mereka melakukannya dengan melalui pesantren. b.
Menurut penuturan Dr. Muhammad Natsir seorang ahli sejarah Indonesia dan mantan
perdana menteri Indonesia pertama di masa Revolusi dahulu yang pernah bertutur
kepada penulis buku ini pada bulan April tahun 1977 M di Pekalongan bahwa
Pesantren adalah benteng pertahanan islam terkuat di negara Indonesia. Di zaman
wali songo islam di Indonesia baru mencapai 35%, di zaman penjajah
prosentasinya naik sampai 95% dan setelah negara ini merdeka prosentase warga
Indonesia yang beragama islam santri menurun tinggal kurang lebih 80%,
Negara-negara berpenduduk mayoritas muslim yang tidak memliki basis pesantren
maka sinar Islam di negara tersebut semakin hari semakin redup saja bahkan
hampir sirna. Padahal dulu pernah mengalami masa keemasan yang gilang gemilang,
seperti di India pada zaman Sulthan Badruddin, di Thailand pada zaman Shultan
Ibrahim, di Fhilipina pada zaman Sulthan Sulaiman dan lain-lain. Ini tidak lain
karena tidak ada benteng pertahanan yang kuat yang mampu menahan dan
membentengi pengaruh penjajah Kuffar di sana yang tidak lain adalah Pesantren.
Kini ketika pesantren mulai ditinggalkan oleh umat Islam, maka Islam di Indonesia
pun mulai berangsur tenggelam. Kapan pesantren mulai ditinggalkan umat Islam ?
Dr. Hasan mengatakan yaitu sejak negara ini merdeka. Mulai saat itu umat Islam
berbondong-bondong hijrah menuju kota untuk ikut berebut kursi jabatan di
pemerintahan yang baru merdeka itu. Tidak hanya warga masyarakat biasa,
putra-putra Kyai, bahkan para Gus-Gus yang orang tuanya menjadi ulama besar dan
memiliki pondok pesantren pun ikut hijrah untuk berebut kursi dan mengais
rejeki. Mereka rela meninggalkan pos-pos pertahanan Islam itu demi kursi.
Karuan saja Islam semakin hari semakin sunyi dari penganutnya. Akhirnya ketika
pondok pesantren kosong karena ditinggal oleh generasi penerus dan tentu saja
oleh santri maka majelis-majelis Ta’lim, langgar-langgar, bahkan masjid-masjid
ikut menjadi kosong, bangunan-bangunannya hanya menjadi bangunan yang besar dan
megah tetapi mati tidak berpenghuni. Ketika Pondok Pesantren tidak menjadi
tujuan menuntut ilmu, umat pun menjadi seperti hewan, mereka hidup tanpa aturan
agama, mereka tidak mengenal lagi mana yang halal dan mana yang haram, mereka
tidak mengenal wudlu, mereka tidak mengenal shalat dan seterusnya. Sumber
rujukan budaya dan pola hidup mereka adalah Televisi dan Internet. Media
elektronik semacam TV dan Internet ini yang mestinya berfungsi sebagai media
edukatif, informatif dan rekreatif pada kenyataannya lebih banyak sisi
negatifnya. Ketika adegan buka-bukaan ditayangkan, masyarakat kita terutama
pemuda dan pemudinya langsung menirunya tanpa berfikir lagi dan tanpa bisa dibendung,
padahal pemeran dari adegan buka-bukaan itu mungkin saja melakukannya hanya
sementara saja, yaitu karena harus mengikuti alur cerita yang dibuat sutradara,
tetapi masyarakat kita malah melakukannya terus menerus dan dalam kehidupan
sehari-hari, di rumah, di jalan, di pasar dan di tempat-tempat mana saja.
Sementara orang yang mau nahi mungkar sulit ditemukan adanya. Penguasa diam
dengan alasan demokrasi, para ustadz diam dengan alasan takut dan warga
masyarakat pun diam semua dengan alasan mumpung muda. Padahal menurut ajaran
agama diangkatnya kholifah adalah untuk menegakkan hukum Al-Qur’an dan As-Sunah
di atas muka bumi.
=-- e
õ
f --=
PERJALANAN PESANTREN
LUMPUR
Di dalam menguak
perkembangan Pondok Pesantren Lumpur, penulis tidak akan membeberkannya secara
detail tetapi terbatas pada hal-hal yang informatif saja. Pada garis besarnya
perkembangan Pondok Pesantren Lumpur dapat dibagi menjadi 2 Periode, yaitu
Periode Perintisan dan Periode Perkembangan. 1. Periode Perintisan Periode
Perintisan artinya masa perintisan jalan pendirian pesantren oleh seorang Kyai
untuk diteruskan kepada generasi berikutnya di dalam pemeliharaan,
pengem-bangan pendidikan, dan pengajaran di Pesantren. Pada periode ini, mbah
Idris dikenal sebagai perintisnya yaitu mulai kira-kira tahun 1295 H. Pada masa
ini tempat mukim para santri hanya ada di sekeliling masjid saja dengan
bangunan yang sangat sederhana, yaitu dengan bahan bambu yang dibuat oleh
santri sendiri, yang kemudian diteruskan oleh generasi berikutnya hingga tahun
1398 H atau tepatnya 10 Jumadil Ula 1398 H yang bertepatan dengan 8 Mei 1978 M.
System belajar pada periode perintisan inipun masih menganut metode Halaqoh
yakni para santri mengaji dengan duduk bersilah mengelilingi gurunya. Tangan
kanan mereka memegang pena dan tangan kiri memegang kitab yang sama dengan
kitab yang tengah dibaca oleh guru, lalu guru membaca kitab itu kalimat demi
kalimat sambil memberi penjelasan Lughot, Nahwu, Shorof, Bayan, Bade’, Ma’ani,
Mantheq, dan sebagainya. Santripun mencatat (Ngapsahi) penjelasan guru itu
dengan tekun dan sangat hati-hati agar tidak salah catat dan tidak ada catatan
penting yang tertinggal. Setelah guru usai membaca kemudian guru menyuruh satu
persatu santrinya untuk menirukan bacaanya, setelah semua bacaan itu selesai
maka guru mempersilahkan mereka untuk menanyakan kandungan kitab yang baru
dibacanya itu, yang belum dipahami, termasuk menanyakan masalah-masalah lain di
luar kitab yang dibaca yang masih berkaitan dan berhubu-ngan. Belajar dengan
metode Halaqoh ini berjalan cukup lama yaitu sejak generasi beliau,
lalu diteruskan generasi kedua yaitu putra-putra dan menantu beliau
yaitu : Kyai Umar,
Kyai Amir,
Kyai Muro’i,
Kyai Dahlan,
Kyai Dawud, dan lainnya.
Kemudian diteruskan lagi oleh generasi ketiga yakni generasi cucu-cucu beliau
seperti : Kyai Zawawi,
KH. Muhammad,
KH. Hambali,
KH. Faqih,
Kyai Abbas, dan yang lain.
Setelah generasi ketiga habis lalu diteruskan oleh generasi keempat yakni cicit-cicit beliau yaitu,
Kyai. Mahmud,
KH. Abdul Ghafur,
KH. Abdul Karim,
KH. Abdur Rosyid,
KH. Abdul Hadi,
KH. Yusuf Hasyim,
KH. Ma’mun,
KH. Masykur
dan Penulis buku ini dan lainnya.
Mulai generasi keempat ini yaitu mulai tahun 1398 H/ 1978 M. System pendidikan Pondok Pesantren Lumpur dikembangkan lagi yaitu dengan menambah system Klasikal.
2. Periode Perkembangan Tanggal 20 Syawwal tahun 1398 / Oktober 1978 M adalah awal Pondok Pesantren Lumpur menambah system klasikal
(anak santri, belajar dibagi dalam beberapa kelas sesuai kemampuan mereka)
dengan tanpa meninggalkan system Halaqoh, karena system ini dirasa masih sangat efektif dengan berpegang
lalu diteruskan generasi kedua yaitu putra-putra dan menantu beliau
yaitu : Kyai Umar,
Kyai Amir,
Kyai Muro’i,
Kyai Dahlan,
Kyai Dawud, dan lainnya.
Kemudian diteruskan lagi oleh generasi ketiga yakni generasi cucu-cucu beliau
seperti : Kyai Zawawi,
KH. Muhammad,
KH. Hambali,
KH. Faqih,
Kyai Abbas, dan yang lain.
Setelah generasi ketiga habis lalu diteruskan oleh generasi keempat yakni cicit-cicit beliau yaitu,
Kyai. Mahmud,
KH. Abdul Ghafur,
KH. Abdul Karim,
KH. Abdur Rosyid,
KH. Abdul Hadi,
KH. Yusuf Hasyim,
KH. Ma’mun,
KH. Masykur
dan Penulis buku ini dan lainnya.
Mulai generasi keempat ini yaitu mulai tahun 1398 H/ 1978 M. System pendidikan Pondok Pesantren Lumpur dikembangkan lagi yaitu dengan menambah system Klasikal.
2. Periode Perkembangan Tanggal 20 Syawwal tahun 1398 / Oktober 1978 M adalah awal Pondok Pesantren Lumpur menambah system klasikal
(anak santri, belajar dibagi dalam beberapa kelas sesuai kemampuan mereka)
dengan tanpa meninggalkan system Halaqoh, karena system ini dirasa masih sangat efektif dengan berpegang
اَلْمُحَافَظَةُ عَلَى الْقَدِيْمِ
الصَّالِحِ وَاْلأَخْذُ بِالْجَدِيْدِ اْلأَصْلَحِ )
Mempertahankan cara
lama yang baik dan menambah system baru yang lebih baik) Sejak periode ini
Pondok Pesantren Lumpur yang dulu tidak memakai nama kini diberi nama Yanbu`ul
`Ulum,
kata Yanbu` diambil dari kata awal dari kalimat Yanbu’ul Qur’an
sebuah Pondok Tahfidz yang didirikan oleh K.H. Arwani Kudus yaitu salah seorang guru dari penulis sendiri, dan
kata Al-Ulum adalah sempalan dari kalimat Darul Ulum yaitu nama sebuah Pondok Pesantren di Pondohan Tayu Pati yang didirikan oleh K.H.A. Muhammadun yang tidak lain adalah guru penulis juga.
Mulai periode ini pula di pondok ini didirikan sebuah Madrasah Salafiyah dengan diberi nama “Madrasah Idrisiyah Salafiyah Islamiyah” atau disingkat MISI, dengan mata pelajaran yang telah disesuaikan dengan Madrasah-Madrasah Salafiyah lain yang telah berdiri lebih dahulu dan yang telah sukses mencetak `Ulama dan Zu`ama yaitu yang ada di Pesantren-Pesantren Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, seperti : Madrasah Al-Hikamus Salafiyah (MHS) di Babakan Ciwaringin Cirebon Jawa Barat,
Madrasah Ghazaliyah Syafi’iyah (MGS) Sarang Rembang Jawa Tengah,
Madrasah Hidayatul Mubtadi’in (MHM) Libroyo Kediri Jawa Timur,
dan masih banyak lagi.
Madrasah Idrisiyah Salafiyah Lumpur ini terdiri dari 3 tingkatan:
1. Tingkat Ibtidaiyyah (3 kelas)
2. Tsanawiyah (3 kelas)
3. Aliyah (3 kelas)
Selain madrasah, di Pondok Pesantren Lumpur juga ada Pendidikan lain, yaitu Tahfidul Qur’an dan Pelajaran Ekstrakulikuler seperti Pengajian Wetonan, Sorogan, Latihan berpidato, dan Bahsul Masail, dan pengajian bulanan untuk Alumni dan Wali Murid.
kata Yanbu` diambil dari kata awal dari kalimat Yanbu’ul Qur’an
sebuah Pondok Tahfidz yang didirikan oleh K.H. Arwani Kudus yaitu salah seorang guru dari penulis sendiri, dan
kata Al-Ulum adalah sempalan dari kalimat Darul Ulum yaitu nama sebuah Pondok Pesantren di Pondohan Tayu Pati yang didirikan oleh K.H.A. Muhammadun yang tidak lain adalah guru penulis juga.
Mulai periode ini pula di pondok ini didirikan sebuah Madrasah Salafiyah dengan diberi nama “Madrasah Idrisiyah Salafiyah Islamiyah” atau disingkat MISI, dengan mata pelajaran yang telah disesuaikan dengan Madrasah-Madrasah Salafiyah lain yang telah berdiri lebih dahulu dan yang telah sukses mencetak `Ulama dan Zu`ama yaitu yang ada di Pesantren-Pesantren Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, seperti : Madrasah Al-Hikamus Salafiyah (MHS) di Babakan Ciwaringin Cirebon Jawa Barat,
Madrasah Ghazaliyah Syafi’iyah (MGS) Sarang Rembang Jawa Tengah,
Madrasah Hidayatul Mubtadi’in (MHM) Libroyo Kediri Jawa Timur,
dan masih banyak lagi.
Madrasah Idrisiyah Salafiyah Lumpur ini terdiri dari 3 tingkatan:
1. Tingkat Ibtidaiyyah (3 kelas)
2. Tsanawiyah (3 kelas)
3. Aliyah (3 kelas)
Selain madrasah, di Pondok Pesantren Lumpur juga ada Pendidikan lain, yaitu Tahfidul Qur’an dan Pelajaran Ekstrakulikuler seperti Pengajian Wetonan, Sorogan, Latihan berpidato, dan Bahsul Masail, dan pengajian bulanan untuk Alumni dan Wali Murid.
MATA PELAJARAN
MADRASAH IDRISIYAH
SALFIYAH ISLAMIYAH (MISI)
POND. PEST. YANBU`UL
`ULUM (PPYU)
أبى جمرةR
جواهر الكلامية R كيلانى R خلاصة نور اليقين
٣ R
آجرومية كبرى R
٦ إبتدائى ٥ إبتدائى ٤ إبتدائى
الأشباه والنظائر R المهذب R الروح R شرح الحكم R جمع الجوامع R منهج ذوى النظر R الفية سيوطى R المحلى R صحيح مسلم R الإتقان R تفسير المنير R الأشباه والنظائر R المهذب R الروح R شرح الحكم R جمع الجوامع R منهج ذوى النظر R الفية سيوطى R المحلى R صحيح مسلم R الإتقان R تفسير المنير R الأشباه والنظائر R المهذب R الروح R شرح الحكم R جمع الجوامع R منهج ذوى النظر R الفية سيوطى R المحلى R صحيح مسلم R الإتقان R تفسير المنير R تفسير المنير ٣ عالية ٢ عالية ١ عالية R فتح القريب R شرح ابن عقيل R جوهرة التوحيد R قواعد الأساسية فى مصطلح الحديث R إيضاح قواعد الفقهية R جواهر البخارى R فرائض R قواعد الإعراب R قواعد الأساسية فى أصول الفقه R جوهر المكنون R نظم فرائد البهية R تفسير المنير R متن زبد R شرح ابن عقيل R بلوغ المرام R منحة المغيث R تحفة العنبرية R نظم جواهر المكنون R فرائض R علم التفسير R شرح نظم الورقات R فتح المجيد R شرح الهد هدى R لب الأصول R نظم فرائد البهية R منهل اللطيف R فيض الخبير R منهاج العابدين R جوهر المكنون R رياض الصالحين R تفسير المنير R فتح المعين R شرح ابن عقيل R كفاية الأخيار R رسالة الصلاة الزكاة والصيام والحج وغيرها ٣ ثانوى ٢ ثانوى ١ ثانوى R سفينة النجاة R الأداب الشرعية R هداية الصبيان R نظم المقصود R خلاصة نور اليقين ١ R عقيدة العوام R متن اجرومية R الأربعين النووية R الأمثلة التصرفية R رسالة الصلاة الزكاة والصيام والحج وغيرها R تقريب R خلاصة نور اليقين ٢ R نظم المقصود R الأمثلة التصريفية R قواعد الإعلال R تحفة الأطفال R خريدة البهية R الترغيب والترهيب R قواعد الصرفية R نظم العمريطى R تحرير R سلم التوفيق R تعليم المتعلم R ورقات R
الأشباه والنظائر R المهذب R الروح R شرح الحكم R جمع الجوامع R منهج ذوى النظر R الفية سيوطى R المحلى R صحيح مسلم R الإتقان R تفسير المنير R الأشباه والنظائر R المهذب R الروح R شرح الحكم R جمع الجوامع R منهج ذوى النظر R الفية سيوطى R المحلى R صحيح مسلم R الإتقان R تفسير المنير R الأشباه والنظائر R المهذب R الروح R شرح الحكم R جمع الجوامع R منهج ذوى النظر R الفية سيوطى R المحلى R صحيح مسلم R الإتقان R تفسير المنير R تفسير المنير ٣ عالية ٢ عالية ١ عالية R فتح القريب R شرح ابن عقيل R جوهرة التوحيد R قواعد الأساسية فى مصطلح الحديث R إيضاح قواعد الفقهية R جواهر البخارى R فرائض R قواعد الإعراب R قواعد الأساسية فى أصول الفقه R جوهر المكنون R نظم فرائد البهية R تفسير المنير R متن زبد R شرح ابن عقيل R بلوغ المرام R منحة المغيث R تحفة العنبرية R نظم جواهر المكنون R فرائض R علم التفسير R شرح نظم الورقات R فتح المجيد R شرح الهد هدى R لب الأصول R نظم فرائد البهية R منهل اللطيف R فيض الخبير R منهاج العابدين R جوهر المكنون R رياض الصالحين R تفسير المنير R فتح المعين R شرح ابن عقيل R كفاية الأخيار R رسالة الصلاة الزكاة والصيام والحج وغيرها ٣ ثانوى ٢ ثانوى ١ ثانوى R سفينة النجاة R الأداب الشرعية R هداية الصبيان R نظم المقصود R خلاصة نور اليقين ١ R عقيدة العوام R متن اجرومية R الأربعين النووية R الأمثلة التصرفية R رسالة الصلاة الزكاة والصيام والحج وغيرها R تقريب R خلاصة نور اليقين ٢ R نظم المقصود R الأمثلة التصريفية R قواعد الإعلال R تحفة الأطفال R خريدة البهية R الترغيب والترهيب R قواعد الصرفية R نظم العمريطى R تحرير R سلم التوفيق R تعليم المتعلم R ورقات R
KH. AMIR DI SEMARANG
Sebagaimana dituturkan
di atas bahwa KH. Amir yang sejak pertama tiba di Mekah berencana mukim terus
di tanah suci itu akhirnya harus pulang juga ke tanah air akibat terjadinya
gejolak di sana. Syarif Husain sebagai penguasa tanah Hijaz di waktu itu
digulingkan oleh kaum wahabi yang dipimpin oleh Syekh Sa`ud dibantu oleh
inggris, Raja Husain akhirnya tumbang dan pemerintahan berpindah ke tangan
keluarga Sa`ud itu hingga sekarang (tahun buku ini ditulis/2012). Nama
negarapun dirubahnya, negara yang dahulu bernama Negara Hijaz itu kini berganti
nama menjadi Kerajaan Arab Saudi, sejak itu para mukimin yang berasal dari
berbagai negara disuruh pulang paksa ke negaranya masing-masing oleh pemerintah
baru ini, tak terkecuali Amir yang sudah puluhan tahun dan sudah kerasan
tinggal di Mekah itu. Amir pulang bukan ke Lumpur melainkan ke desa Darat
Kabupaten Semarang kota. Di desa Darat inilah beliau mengajar para santri
bersama mertuanya yaitu Kyai Shaleh dengan cara sembunyi-sembunyi, kadang-kadang
beliau harus mengajar santrinya di dalam kamar yang tertutup, kemudian di hari
yang lain beliau mengajar di tempat yang berbeda lagi, karena khawatir ketahuan
oleh mata-mata belanda yang sudah lama menjajah Indonesia. Belanda memang
sangat ketat mengawasi gerak-gerik para kyai terutama yang ada di semarang.
Para kyai itu dilarang keras mengajarkan segala macam ilmu agama, sehingga
mertua Mbah Amir sendiri yang tak lain adalah Kyai Shaleh terpaksa harus
mengajar dengan cara menulis kitab-kitab tentang agama itu dengan bahasa daerah
setempat lalu mencetaknya di luar negeri yaitu di Singapura, lalu dibagikan
kepada murid-murid beliau khusus-nya yang ada di Semarang dan sekitarnya,
murid-murid itu disuruh membacanya di rumah sendiri-sendiri saja kemudian kalau
ada masalah yang mereka tak mampu memahaminya mereka disuruh datang ke rumah
beliau untuk menanyakan-nya lalu kyai Shaleh menjelaskannya, hal ini sesuai
dengan petunjuk Al-Qur`an Surat An-Nahl ayat 43 :
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ
إِنْ كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah
kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”
Dengan cara begini beliau dan Kyai Amir bisa menuai sukses besar di dalam
mendidik murid-muridnya itu. Banyak murid-murid didik beliau yang berhasil
menjadi ulama maupun zuama, antara lain KH. Idris Jamsaren Solo dan R.A.
Kartini yang terkenal sebagai pahlawan nasional dan penulis buku
“Minadldlulumati ilannur” yang bahasa Indonesianya “Habis gelap terbitah terang
” itu, karena memang awalnya Kartini itu gersang ilmu agama, baru setelah
belajar mengaji kepada Mbah Shaleh beliau banyak menguasai ilmu agama.
=-- e
õ
f --=
KH. AMIR HIJRAH KE
PEKALONGAN
Setelah sekian lama
Mbah Amir bersama anak tirinya dan juga istrinya sendiri mengajar di Darat
Semarang membantu mertuanya Kyai Shaleh maka pada suatu hari datanglah Mbah
Adam seorang ulama yang terkenal kaya dari Spait Pekalongan menemui beliau. MA
: “Kyai, saya dari Pekalongan, datang kesini dengan tujuan mau mohon kepada
Kyai sudilah kiranya Kyai tinggal di desa saya yaitu desa Simbang kulon
Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan untuk mengajar ngaji di sana, mengingat
masyarakat desa kami hampir seluruhnya awam dan belum ada kyai yang mengajar
ngaji.” KHA : “Kalau saya harus pindah ke Pekalongan apakah kira-kira mertua
saya merestui?” MA : “Insya Allah Mbah Shaleh merestui, nanti saya saja yang
matur kepada beliau.” KHA : “Lalu di Pekalongan saya akan tinggal di rumah
siapa? Baiklah saya akan mencari rumah dulu di sana untuk dibangun rumah dan
pesantren.” MA : “Kyai tidak usah memikirkan tanah, rumah dan bangunan
pesantren, semua saya yang menanggung.” Setelah KH. Amir bermusyawaroh bersama
keluarganya yang di Semarang dan mohon restu kepada ayahnya yang di Lumpur maka
beliaupun tidak lupa istikhoroh berulang-ulang. Setelah mendapat restu dari
kedua orang tuanya dan mertuanya maka
KH. Amir segera hijrah ke Pekalongan disertai istrinya yaitu R.A. Zahra anak tirinya R. Rahmat dan pembantu rumahnya yang mantan pelacur itu yaitu Nyai Soka.
KH. Amir segera hijrah ke Pekalongan disertai istrinya yaitu R.A. Zahra anak tirinya R. Rahmat dan pembantu rumahnya yang mantan pelacur itu yaitu Nyai Soka.
KEADAAN DESA SIMBANG
DAN SEKITARNYA SEBELUM KEDATANGAN MBAH AMIR
Masyarakat desa Simbang
dan sekitarnya di akhir abad 18 dan menjelang abad 19 adalah merupakan
masyarakat petani sekaligus pengrajin dan pedagang batik yang kosmopolit, ini
berbeda sekali dengan daerah-daerah lainnya diseluruh wilayah pekalongan. Hanya
saja rata-rata dari mereka buta agama, perjudian, mabuk-mabukan, adu jago, dan
adu burung dara adalah merupakan pemandangan sehari-hari di kawasan ini. Di
tengah-tengah lebat dan gelapnya belantara dan kejahatan yang merajalela itu
KH. Amir bersama keluarganya datang di desa ini untuk memulai sebuah biografi
baru, kedatangannya ibarat terbitnya purnama dari balik kegelapan malam.
Mulailah KH. Amir dan Raden Rahmat mengajarkan ilmu yang untuk mengesahkan
iman, yaitu ilmu tauhid dan ilmu yang untuk mengesahkan ibadah dan mu`amalah
yaitu ilmu fiqih dan ilmu yang untuk membersihkan hati dan mensucikannya dari
sifat-sifat madzmumah yaitu ilmu tasawuf dan ilmu akhlaq, disamping itu juga
mengajar ilmu Al-Qur`an, Tafsir, Hadits, Usul Fiqih, kaidah fiqih dan ilmu alat
kepada para santri-santrinya baik yang dari tetangga sendiri maupun dari luar
daerah
=-- e
õ
f --=
MANTAN PELACUR MENJADI
PEMBANTU RUMAH TANGGA KH. AMIR
Konon sekitar kurang
lebih tahun 1315 H. usia Mbah Shaleh mertua Mbah Amir semakin lanjut, namun
beliau masih tetap aktif mengajar santri-santrinya yang datang dari berbagai
penjuru daerah, disamping itu beliau juga sibuk melayani segala macam urusan
masyarakat dan tidak lupa pula menerima para tamu-tamu yang ingin bertemu
langsung dengan beliau untuk menanyakan masalah-masalah keagama-an atau sekedar
soan silaturrahim dan mendengar nasihat-nasihatnya. Konon pada suatu hari
sekembalinya beliau mengajar para santri-santrinya beliau dicegat oleh seorang
Habib yang terkenal alim dan sufi yang ingin bermalam di rumah beliau, beliau
segera menaruh kitabnya dan beramah tamah dengannya. Habib : “Kyai, saya ingin
bermalam di rumah kyai, siapkah kyai menyediakan kamar untuk saya?” KHS :
“Oh,ada Bib, tapi mungkin kurang bagus dan kurang luas.” Habib : “Tidak apa,
yang penting saya minta dicarikan teman tidur seorang perempuan pelacur yang
sangat cantik dan masih perawan.” KHS : “Siap Bib, sekarang juga saya akan
pergi ke rumah bordil untuk menanyakan gadis tersebut kepada germonya. Kyai
Shaleh pun segera berangkat mencari pelacur yang diminta oleh Habib itu. Tidak
berapa lama beliau sudah datang kembali dengan membawa gadis tersebut. Setelah
shalat isya Habib memanggil gadis yang baru datang itu agar segera masuk kamar
dan tinggal bersamanya. Setelah berada di dalam kamar pintu kamar pun segera
dikunci dari dalam, sehingga di dalam kamar itu hanya tinggal dua orang, yaitu
Habib dan gadis cantik itu. Mereka berdua menjalani malam-malam indahnya tanpa
ada orang lain yang mengganggu hingga malam larut dan sampai datang waktu pagi.
Di pagi hari seusai jama`ah shalat subuh bersama para santri Kyai Shaleh tidak
seperti biasanya, beliau memasak air sendiri dan menanak nasi sendiri kemudian
menyiapkan sarapan dengan lauk pauk seadanya disertai kopi panas yang dibelinya
dari warung sebelah. Setelah semuanya beres kemudian beliau mengetuk pintu
kamar yang dihuni oleh Habib dan gadis pelacur. Pintupun segera terbuka dan
Habib keluar lebih dulu kemudian diikuti oleh gadis pelacur. KHS : “Wahai
Habib, apakah tuan puas tidur di rumah saya?” Habib : “Sungguh menyenangkan
tidur di rumah Kyai.” KHS : “Apakah gadis ini bisa melayani tuan dengan baik?”
Habib : “Oh ya, dia benar-benar gadis yang baik, semua kehendak saya dipenuhi
dengan sempurna.” Habib pun segera pamit pulang ke rumahnya, setelah Habib
pergi dan tidak kelihatan, KH. Shaleh segera bertanya kepada gadis pelacur yang
mempunyai nama asli Soka itu. KHS : “Berapa kali tamu saya tadi mencumbui
kamu?” Gadis : “Ah, boro-boro mencumbui, mencium satu kalipun tidak, bahkan
meraba anggota badan saya pun tidak, padahal saya sudah siap, seluruh pakaian
yang melekat pada tubuh saya sudah saya tanggalkan semua. Tamu Pak Kyai itu
tidak pernah melirik satu kalipun ke arah tubuh saya ini, beliau terus-terusan
mengerjakan sholat, setiap selesai sholat beliau beliau berdzikir dan berdo`a
dan kemudian mulai shalat lagi, begitu dan begitu terus dari mulai masuk kamar
ini sampai keluar” KHS : “Lalu kamu akan minta bayaran berapa?” (Gadis ini
bukannya menjawab pertanyaan Kyai Shaleh melainkan menangis dengan suara keras
dan lama sekali, setelah puas dengan tangisannya barulah ia menjawab) ia
berkata : Gadis : “Oh.. Kyai, saya tidak akan minta bayaran sepeserpun dan saya
tidak akan kembali lagi ke tempat bordil saya atau ke tempat lain, saya ingin
tinggal di rumah Kyai untuk menjadi pembantu di rumah Kyai dan belajar ngaji
dan shalat kepada Kyai.” Gadis yang bernama Soka tersebut kemudian menjadi
bagian dari santri-santri Mbah Shaleh Ndarat hingga bertahun-tahun lamanya
hingga menjadi santri yang alim dan mampu mengajarkan kitab-kitab yang dikarang
Kyai Shaleh, seperti kitab Majmu`ah Syari`ah, Lathaifuth Thoharoh, keduanya
tentang fiqih. Sabilul `Abid tentang tauhid, dan kitab-kitab yang lain. Ketika
KH. Amir pindah di tempat yang baru oleh Kyai Shaleh Nyai yang mantan pelacur
itu disuruh ikut KH. Amir untuk tinggal di Simbang Pekalongan menjadi pembantu
rumah tangga KH. Amir.
=-- e
õ
f --=
MANTAN PELACUR JADI
KEKASIH ALLAH
Setelah Mbah Amir
sekeluarga resmi mukim di Simbang Kulon, kehidupan baru bagi keluarga inipun
diawali lagi, pesantren dibukanya, pengajianpun dimulainya, bahkan setiap
santri yang belajar mengaji banyak sekali, bahkan setiap hari terus bertambah,
mereka yang datang mengaji bukan hanya kaum pria melainkan juga kaum wanita,
sehingga guru ngaji wanita sangatlah dibutuhkan, hal ini karena masalah yang
dihadapi oleh wanita terkadang sangatlah tabu kalau disampaikan oleh guru pria,
seperti masalah haid, nifas dan istihadloh, termasuk masalah mandi jinabat dan
hubungan suami istri yang sudah barang tentu akan menyeret kepada pembahasan
organ wanita yang sangat intim dan sifat-sifat wanita yang cenderung “Naqishotu
`Aqlin Wa Dinin” untuk mengatasi masalah ini Mbah Amir tidak merasa kesulitan
sama sekali karena istri beliau Raden Ajeng Zahro adalah seorang putri Mbah
Shaleh ndarat yang terkenal bukan hanya kecantikannya tetapi juga cerdas dan
pandai khususnya di dalam urusan agama, begitu juga pembantunya yang tidak lain
adalah Nyai Soka, seorang mantan pelacur yang kini mempunyai kemampuan lebih di
dalam mengajarkan ilmu tauhid, fiqih bahkan Al-Qur`an dan tafsirnya, karena
begitu lamanya beliau belajar berbagai disiplin ilmu agama itu langsung kepada
ulama besar yaitu Mbah Kyai Shaleh yang terkenal wali itu. Begitu banyaknya
santri-santri baik dari wilayah Pekalongan sendiri maupun dari daerah lain yang
belajar ngaji kepada kedua guru wanita yang alim ini, banyak dari santri-santri
mereka yang menjadi orang alim dan mampu menjadi maha guru seperti mereka
berdua, diantara murid-muridnya ialah Nyai Hindun dari Simabng Kulon sendiri,
seorang ibu dari KH. Tahrir, KH. Abdullah dan KH. Abdul Jalil.
=-- e
õ
f --=
SIMBANG KULON
PEKALONGAN SETELAH KEDATANGAN MBAH AMIR
Belum lama Mbah Amir
tinggal di Simbang Kulon, Simbang Kulon sudah tidak seperti dulu lagi,
mabuk-mabukan, perjudian, para penyabung ayam dan kejahatan-kejahatan lain
mulai berkurang, bahkan bisa dikatakan tidak ada lagi. Langgar-langgar banyak
didirikan hampir di setiap lorong dan gang, pengajian ramai dimana-mana, bacaan
Al-Qur`an, dzikir dan Dalailul Khoirot terdengar ramai setiap hari pagi dan
sore, siang dan petang. Ini tak lain berkat kegigihan dan ketekunan Mbah Amir
dengan dibantu anak tirinya, istrinya dan Nyai Soka yang tak kenal lelah itu.
Menurut cerita yang diperoleh dari murid Mbah Amir yang bisa dipercaya bahwa
Mbah Amir mengajar santri-santri mulai pagi sampai malam tepatnya sebelum adzan
subuh mengudara beliau sudah keluar dari rumah dan berada dilanggar tempat
beliau mangajar dan beliau tidak pernah masuk rumah sebelum sholat isya,
santri-santrinya pun tidak ada yang pernah melihat Mbah Amir makan dari mulai
pagi sampai malam itu kecuali hanya minum secangkir air, oleh sebab itu tidak
heran kalau murid-murid beliau yang menjadi ulama besar sangat banyak, antara
lain KH. Muhammadun bin Ali Murtadlo, Pendiri dan pengajar Pondok Pesantren
Darul Ulum Pondoan Tayu Pati dan ayah dari KH. Aniq Muahammadun sekaligus kakek
dari Ulil Abshar Abdallah, begitu juga yang lain seperti KH. Maemun Luwungragi
Brebes, KH. Thoyib Kertasemaya Indramayu dan masih banyak lagi. Kini desa
Simbang Kulon desa peninggalan Mbah Amir itu menjadi Kota Santri, banyak sekali
pesantren dan madrasah-madrasah besar berdiri megah di desa ini. Wallahu A`lam.
MBAH AMIR DAN TAREKAT
Ada yang menduga bahwa
Mbah Amir tidak mau tarekat, dugaan ini sangat tidak benar dan tidak terbukti
karena ayah Mbah Amir sendiri yaitu KH. Idris bin Ahmad Saleh adalah guru besar
ilmu Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah dan semua ilmu yang beliau miliki
diturunkan kepada Mbah Amir termasuk wirid tarekat ini dan ditambah Dalailul
Khoirot. Apalagi tasawuf, tarekat adalah bagian dari ajaran agama. Marilah kita
simak keterangan kitab Tanwirul Qulub ini : Tasawuf adalah ilmu yang untuk
mengetahui sifat-sifat hati, baik yang terpuji maupun yang tercela, yang
tercela dihilangkan dan yang terpuji diamalkan. Termasuk untuk mengetahui
tatacara pergaulan (Etiquette) dan perilaku kepada Allah. Dari situlah maka membahas
ilmu tasawuf bagaikan mengarungi laut tak berpantai, karena ilmu tasawuf
benar-benar luas, ini berbeda dengan ilmu-ilmu yang lain yang tertata
sistematika dan metodologinya, sedangkan ilmu tasawuf tidaklah demikian, karena
ilmu tasawuf berhubungan dengan Dzauq (perasa) yang tidak dapat diukur
obyektifitasnya apalagi secara kuantitasnya, sehingga antara sesama ahli
tasawuf seringkali berbeda, sebagaimana dikatakan oleh Ay-Syekh Amin Al-Kurdi
ini :
علْمُ التَّصَوُّفِ عِلْمٌ لَيْسَ يُدْرِكُهُ * إِلاَّ اَخُـوْ فِطْنَةٍ بِـالْحَقِّ مَعْرُوْفٌ وَكَيْفَ يَعْرِفُهُ مَنْ لَيْسَ يَشْـهَدُهُ *
وَكَيْفَ يَشْهَدُ ضَوْءَ الشَّمْسِ مَكْفُوْفٌ
Artinya : “Ilmu Tasawuf adalah ilmu yang tidak bisa dirasakan kecuali oleh orang yang memiliki ma`rifat kepada Al-Haq (Allah Ta`ala)” “Bagaimana mungkin orang tidak ma`rifat bias merasakan, bukankah orang buta tidak bisa merasakan terangnya sorot matahari?” Seorang sufi selalu ingin berubah dan terus berusaha berubah, karena dalam tasawuf kita kenal adanya Maqamat dan Ahwal (tingkatan dan perpindahan) mulai dari maqam pertama yaitu Maqam At-Taubah sampai dengan yang terakhir yaitu Maqam Qoba Qousaini Aw Adna (ia dekat sedekat ujung busur panah atau lebih dekat lagi) melalui proses beberapa Ahwal dari mulai Ahwal Muroqobah hingga Al-Fana (hancur, sirna) bahkan sampai Fanaul Fana (hancur lebur). Ba`dhul `Arifin berkata :
وَبَعْدَ الْفَنَا بِاللهِ كُنْ كَيْفَمَا تَشَا * فَعِلْمُكَ لاَ جَهْلٌ وَفِعْلُكَ لاَ وِزْرٌ
Artinya : “Setelah seorang sufi sirna dan tenggelam mencintai Allah maka dikatakan kepadanya : “Berbuatlah apa saja yang kamu kehendaki, sesungguhnya ilmu kamu tidak dikotori kebodohan dan perbuatanmu tidak dinodai dosa” Sejarah telah mencatat bahwa hikayat orang-orang sufi tak ubahnya seperti legenda-legenda orang yang telah mabuk cinta, mereka merasa dirinya telah sirna, tak bernilai lagi (Fana) bahkan telah hancur lebur (Fanaul Fana) dalam diri sang kekasih yang Maha Agung, padahal jasad mereka masih gentayangan, mereka benar-benar mabuk dan tidak sadar karena cinta yang menggelora sehingga menurut penelitian orang yang belum pernah mengalami-nya mereka itu sinting yang ingin menarik perhatian orang banyak, padahal mereka adalah orang-orang yang istimewa, kondisi mereka sudah sampai pada tingkat kewalian yang petunjuk dan isyaratnya sangat dibutuhkan oleh umat, tentu saja sepanjang keanehan itu tidak bertentangan dengan aqidah dan syari`at islam. Penulis memperoleh kabar dari sesepuh bahwa Kubah Maqbaroh Mbah Idris adalah dibangun oleh salah seorang guru tarekat dari Jawa Timur yang mengaku Ijazah Tarekat dan Dalailul Khoirotnya dari beliau, begitu juga murid-muridnya Mbah Amir yang lain, termasuk juga anak cucunya banyak yang mengamalkan Tarekat dan kebanyakan orang yang ijazah tarekat dan Dalail itu sanadnya melalui Mbah Amir dan Mbah Idris ini. Wallahu A`lam.
علْمُ التَّصَوُّفِ عِلْمٌ لَيْسَ يُدْرِكُهُ * إِلاَّ اَخُـوْ فِطْنَةٍ بِـالْحَقِّ مَعْرُوْفٌ وَكَيْفَ يَعْرِفُهُ مَنْ لَيْسَ يَشْـهَدُهُ *
وَكَيْفَ يَشْهَدُ ضَوْءَ الشَّمْسِ مَكْفُوْفٌ
Artinya : “Ilmu Tasawuf adalah ilmu yang tidak bisa dirasakan kecuali oleh orang yang memiliki ma`rifat kepada Al-Haq (Allah Ta`ala)” “Bagaimana mungkin orang tidak ma`rifat bias merasakan, bukankah orang buta tidak bisa merasakan terangnya sorot matahari?” Seorang sufi selalu ingin berubah dan terus berusaha berubah, karena dalam tasawuf kita kenal adanya Maqamat dan Ahwal (tingkatan dan perpindahan) mulai dari maqam pertama yaitu Maqam At-Taubah sampai dengan yang terakhir yaitu Maqam Qoba Qousaini Aw Adna (ia dekat sedekat ujung busur panah atau lebih dekat lagi) melalui proses beberapa Ahwal dari mulai Ahwal Muroqobah hingga Al-Fana (hancur, sirna) bahkan sampai Fanaul Fana (hancur lebur). Ba`dhul `Arifin berkata :
وَبَعْدَ الْفَنَا بِاللهِ كُنْ كَيْفَمَا تَشَا * فَعِلْمُكَ لاَ جَهْلٌ وَفِعْلُكَ لاَ وِزْرٌ
Artinya : “Setelah seorang sufi sirna dan tenggelam mencintai Allah maka dikatakan kepadanya : “Berbuatlah apa saja yang kamu kehendaki, sesungguhnya ilmu kamu tidak dikotori kebodohan dan perbuatanmu tidak dinodai dosa” Sejarah telah mencatat bahwa hikayat orang-orang sufi tak ubahnya seperti legenda-legenda orang yang telah mabuk cinta, mereka merasa dirinya telah sirna, tak bernilai lagi (Fana) bahkan telah hancur lebur (Fanaul Fana) dalam diri sang kekasih yang Maha Agung, padahal jasad mereka masih gentayangan, mereka benar-benar mabuk dan tidak sadar karena cinta yang menggelora sehingga menurut penelitian orang yang belum pernah mengalami-nya mereka itu sinting yang ingin menarik perhatian orang banyak, padahal mereka adalah orang-orang yang istimewa, kondisi mereka sudah sampai pada tingkat kewalian yang petunjuk dan isyaratnya sangat dibutuhkan oleh umat, tentu saja sepanjang keanehan itu tidak bertentangan dengan aqidah dan syari`at islam. Penulis memperoleh kabar dari sesepuh bahwa Kubah Maqbaroh Mbah Idris adalah dibangun oleh salah seorang guru tarekat dari Jawa Timur yang mengaku Ijazah Tarekat dan Dalailul Khoirotnya dari beliau, begitu juga murid-muridnya Mbah Amir yang lain, termasuk juga anak cucunya banyak yang mengamalkan Tarekat dan kebanyakan orang yang ijazah tarekat dan Dalail itu sanadnya melalui Mbah Amir dan Mbah Idris ini. Wallahu A`lam.
=-- e
õ
f --=
MBAH AMIR DAN ROKOK
Menghisap rokok adalah
sebuah tindakan yang belum pernah terjadi di zaman Nabi dan Sahabat-Sahabatnya,
di zaman Tabi`in, Tabi`it Tabi`in dan terus hingga ke bawah. Ada yang
mengatakan orang yang pertama kali menghisap rokok adalah orang India, kurang
lebih 1000 tahun setelah Rasulullah wafat, ironisnya perkembangan rokok ini
sangat cepat sekali mendunia. Banyak sekali orang merokok sebelum memikirkan
efek dan hukumnya, tidaklah enak didengar kalau orang yang membahas hukum rokok
ini adalah orang yang anti rokok apalagi kalau yang membahas hukumnya adalah
perokok kelas berat karena sudah bisa dipastikan akan menghasilkan keputusan
yang tidak seimbang. Seorang ulama besar zaman ini dari Yaman yang bergelar
Sulthonul Ulama yaitu Al-Habib Al-`Alim Al-`Allamah Salim bin Abdullah bin Umar
Asy-Syathiri bercerita dihadapan masyarakat Jakarta bahwa dirinya pernah
membaca delapan kitab yang menerangkan tentang hukum haramnya merokok, sehingga
beliaupun mengharamkan seluruh murid-muridnya menghisap rokok. Penulis
mendengar keterangan beliau ini empat kali di dalam bulan dan tahun yang
berbeda, pertama ketika beliau berkunjung ke Pondok Pesantren Yanbu`ul `Ulum
Lumpur Losari, Kedua di Pondok Pesantren Al-Bukhori Sengon Tanjung, ketiga di
Pondok Pesantrennya Kyai Busyrol Karim Kuningan dan keempat di Pondok Pesantren
Al-Masyhad Asembaris, Tebet Jakarta. Sementara Imam Ibrohim Al-Bajuri menulis
di dalam kitab Hasyiyah Fathul Qorib bahwa hukum merokok adalah makruh. Konon
Mbah Amir sendiri saat mudanya tergolong orang yang suka merokok tetapi
akhirnya beliau meninggalkannya sama sekali. Sejarah Mbah Amir meninggalkan
rokok diawali dari datangnya seorang Mursyid Tarekat yang tidak lain adalah kakak
kandungnya sendiri yaitu KH. Umar di rumahnya. KHU : “Mir, saya merasa bingung
kalau melihat kamu merokok?” KHA : “Loh, kok bingung sih kang? Rokok kan enak
sekali dan saya kalau tidak merokok tidak bisa ngajar.” KHU : “Mir, kamu ini
orang alim yang menjadi panutan umat, sedangkan saya ini orang bodoh sehingga
harus ikut kamu, tetapi kalau saya ikut merokok saya rasanya berat karena
merokok sama dengan membakar uang sia-sia karena rokok itu bukanlah makanan,
bukan minuman dan bukan pula termasuk obat-obatan, dengan kata lain orang yang
membeli rokok sangat pas disebut orang safeh.” KHA : “Oh ya kang, aku sadar.
Mulai saat ini saksikanlah bahwa mulai hari ini aku berhenti merokok dan sampai
seterusnya.” Wallahu A`lam
=-- e
õ
f --=
KAROMAH - KAROMAH MBAH
AMIR
Mbah Amir sebagai salah
seorang hamba Alah yang memiliki banyak kelebihan dibanding dengan yang lain.
Beliau alim, amil, mukhlis dan mustaqim, beliau zuhud dan wira`i, ibadahnya
sangat kuat sehingga wajar dan layak kalau sifat-sifatnya yang baik itu
membuahkan banyak karomah. Karomah beliau sungguh amat banyak sekali, mohon
maaf kalau penulis tidak mampu mencatat karomah-karomahnya Mbah Amir
kesemuanya, penulis hanya akan mencatat sebagian saja sebatas yang penulis
terima dari penuturan murid-muridnya, khadamnya, anak-anak dan keluarganya.
Inilah diantara karomah-karomah Mbah Amir itu.
(1). Listrik Bergoyang Sendiri Agaknya benar apa yang dikatakan oleh Syekh Abdul Qodir Al-Jailani bahwa bisa saja tahun, bulan, minggu maupun hari itu memberi tahu kepada wali (kekasih Allah) tentang apa-apa yang akan terjadi dalam masa-masa itu. Begitulah rupanya hal yang terjadi pada diri Mbah Amir, beliau sepertinya mengerti tentang diri santrinya yang tidak kerasan pada awal-awal ia datang di Pondok Pesantrennya, penulis pernah mendengar cerita Simbah KH. Muhammadun ketika beberapa hari mukim di Pondoknya Mbah Amir, beliau pada waktu itu sangat tidak kerasan, pikirannya selalu pusing dan ingin cepat pulang kembali ke kampung halaman, apa yang dirasakan Simbah KH. Muhammadun, Mbah Amir mengerti karena diberi tahu oleh lampu listrik yang memberi tahu dengan bahasa isyaratnya, lampu listrik di kamar Mbah Madun mukim selalu bergoyang-goyang meskipun tidak ada angin dan tidak tersentuh orang. Akhirnya KH. Manshur dari Jekul Kudus yang juga teman Mbah Madun soan menghadap Mbah Amir sekaligus memberi tahu tentang lampu listrik yang selalu bergoyang di kamarnya itu, kemudian Mbah Amir itu berkata : “Itu karena Muhammadun tidak kerasan mondok di sini, coba dia panggil dan suruh menghadap saya”. Demikian perintah Mbah Amir kepada santrinya Manshur. Setelah Muhammadun diberi nasehat dan dido`akan oleh Mbah Amir akhirnya dia kerasan dan anehnya setelah Muhammadun kerasan lampu listri pun menjadi berhenti bergoyang dan tenang kembali seperti biasa.
(2). Bau Wali Ketika penulis masih mesantren di Pondoan (tahun 1973-1977) penulis bersama santri-santri yang lain mendengar cerita dari Si Mbah Muhammadun bahwa pernah pada suatu hari Mbah Amir berdiri di depan rumahnya dipinggir jalan, ketika istrinya bertanya : “Kenapa berdiri terus dipinggir jalan? Jawabnya : “Saya sedang menunggu seorang wali dari kudus yaitu Mbah Yasin dan Mbah Sanusi”. Ketika istrinya bertanya lagi : “Dari mana sampean mengerti bahwa mereka akan datang hari ini?” Mbah Amir hanya tersenyum, rupanya hari yang datang di hari itulah yang bercerita kepada beliau karena saat itu belum ada telepon dan tidak ada orang yang memberi tahu termasuk tamunya yang akan datang juga tidak memberi tahu terlebih dahulu Tidak berapa lama munculah kedua tamu yang ditunggu-tunggu beliau yang tidak lain adalah Mbah Sanusi dan Mbah Yasin itu. Kedua tamu beliau pun merasa heran kenapa Mbah Amir tahu bahwa mereka akan datang, lebih heran lagi ketika Mbah Amir berkata : KHA : “Kok lama sekali panjenengan ziarah ke Makam Habib Muhammad Kendal?” Tamu : “Kok Kyai mengerti kalau kami baru saja ziarah ke Makam Habib Muh?” KHA : “Ya taulah” Tamu : “Darimana Kyai tahu?” KHA : “Dari baunya, bau sampean berdua ini persis baunya Habib Muhammad Kendal?” Tamu : “Apakah beda Kyai baunya para wali itu?” KHA : “Ya jelas beda.” Dari dialog ini kedua tamu itu mengerti bahwa betapa luar biasanya karomah Mbah Amir itu. Wallahu a`lam.
(3). Mesin Sepur Tidak Bisa Jalan Seorang khadam Mbah Amir bernama Irfan bertutur kepada penulis bahwa pada suatu hari Mbah Amir mau melakukan perjalanan ke Cirebon dengan diantar oleh khadamnya yang bernama Irfan tadi. Sebagaimana biasa Mbah Amir senang naik kereta api yang berangkat pagi jam 9, sebagaimana biasa pula setelah membeli karcis Mbah Amir berwudhu dulu kemudian shalat dhuha dan berdo`a lama sekali di mushola Stasiun Pekalongan hingga melebihi jam 9. Anehnya meskipun mesin sepur dalam kondisi baik, tidak ada yang rusak bahkan mesinnya sudah dihidupkan dan gigi sudah masuk, gas pun sudah diinjak hingga mengeluarkan suara gemuruh, tapi sepur tidak bisa berjalan hingga masinis dan semua penumpang merasa heran, anehnya setelah Mbah Amir selesai berdo`a dan beliau naik dan duduk barulah kereta bisa berjalan sebagaimana biasanya hingga MbahAmir sampai ke tempat tujuan. Wallahu a`lam.
(4). Jalan Sepanjang Kurang Lebih 3 KM Dibersihkan Sebagaimana biasa masyarakat Losari Lor, Pengabean dan Lumpur terutama kaum ibunya setiap pagi biasanya menyapu dan merapikan pelataran depan rumahnya sendiri tetapi tidak sampai membersihkan badan jalan. Anehnya setiap Mbah Amir akan berkunjung ke rumah orang tuanya dan saudara-saudaranya yang di Lumpur orang-orang yang rumahnya berada di tepi jalan dari Losari sampai Lumpur mereka tidak hanya membersihkan halaman rumah sendiri saja akan tetapi hampir semuanya membersihkan jalan yang akan dilewati Mbah Amir, seakan-akan mereka sudah diberitahu atau sudah mengerti bahwa Mbah Amir akan lewat di jalan yang mereka bersihkan itu. Setelah mereka selesai membersihkan jalan, tidak berapa lama Mbah Amir pun turun dari kendaraan dan berjalan menuju Lumpur, cerita ini penulis menerimanya dari sesepuh Lumpur. Wallahu a`lam
(5). Suara Tanpa Rupa Di saat Mbah Amir masih mengaji di Mekah yaitu pada Syaikh Mahfudz At-Tarmasi dan uama-ulama Mekah lainnya beliau pernah menegur salah seorang temannya yang selalu bikin gara-gara sehingga mengganggu beliau dan teman-teman yang lain. Ternyata teman yang mendapat teguran Mbah Amir itu merasa tersinggung, dia marah besar dan tidak bisa menahan emosi, dia pergi ke dapur dan diambilnya sebilah golok yang panjang lalu mencari Mbah Amir di kamarnya. Saat ia datang di kamar Mbah Amir, Mbah Amir tengah muthola`ah kitab karangan gurunya sambil duduk menghadap kiblat. Teman yang sedang kalap itu melihat Mbah Amir sedang duduk maka tidak pikir panjang lagi langsung membacok tubuh Mbah Amir dengan goloknya tetapi anehnya Mbah Amir saat itu tubuhnya tiba-tiba tidak bisa dilihat oleh dia, golok pun diayunkan ke kanan dan ke kiri tetap tidak mengenai sasaran, setiap kali temannya berteriak memanggil-manggil nama beliau, beliau selalu menjawabnya di tempat yang berbeda-beda, kadang di pojok timur, kadang di pojok barat dan seterusnya. Diapun tidak berhasil melukai Mbah Amir meskipun sebenarnya Mbah Amir masih tetap duduk dan bermuthola`ah di kamarnya Cerita ini penulis menerimanya dari Kyai Mahmud dari ayahnya Kyai Dawud yang mesantren bareng dengan Mbah Amir di Mekah. Wallahu a`lam.
(6). Penakluk Kejahatan Diantara sekian ratus santri Mbah Amir ada dua santri yang ditugas memberantas penjahat, mereka adalah Abdul Hanan dari Pengabean Losari dan Balya dari Tegalgubug Lor Arjawinangun. Konon pada tengah malam dua santri ini menyisir sarang-sarang penjahat di wilayah kecamatan Buaran Pekalongan, setelah penyisiran sampai di Banyu Urip mereka berdua tiba-tiba mendengar suara hiruk pikuk anak-anak muda yang jumlahnya mencapai ratusan di dalam sebuah gudang yang cukup besar tetapi terkunci mereka berdua segera mengetuk pintu gerbang gudang itu. Pintu pun segera dibuka oleh seorang laki-laki yang bertubuh kekar dengan kedua matanya yang sipit, rupanya orang inilah yang tengah melatih pemuda-pemuda cina belajar Kungfu H & B : “Mau beli gula dan kopi Bah, ada nggak disini?” GK : “Aneh-aneh saja kalian, gudang ini kan tempat latihan kungfu, bukan toko kopi. Kenapa kalian kesini?” H&B : “Oh ya, tapi itu kungfunya jelek sekali Bah, masih bagus kungfu saya. Silahkan saja dicoba kalau Babah penasaran.” GK : “Sebelum percobaan kungfu kamu dan kungfu saya, saya ingin memperlihatkan kehebatan saya dulu kepada kalian” (Lalu cina bertubuh kekar dan bermata sipit itu menyuruh anak didiknya untuk mengambil lesung yang di isi gabah, oleh laki-laki itu gabah yang ada di lesung itu ditumbuknya hanya dengan jari-jari tangannya hingga gabah itu remuk menjadi beras semua. Hanan dan Balya merasa kagum akan kehebatan laki-laki itu tapi dia pantang mundur karena tekadnya sudah kuat untuk memberantas kejahatan) H&B : “Bah! Itu sih kecil, kalau Babah bisa menghancurkan batu baru Babah bisa menandingi ilmu saya” GK : “Ah sombong kalian, mari kita langsung bertanding saja sekarang.” Hanan & Balya segera berdo`a kepada Allah mohon diberi kemenangan dengan bertawasul Mbah Amir. Ketika mulut mereka masih membaca wirid tiba-tiba laki-laki kekar itu melesat ke udara hingga mencapai ujung pohon pisang yang paling atas, sampai mereka berdua merasa ngeri terhadap kehebatan guru kungfu itu, tetapi mereka tidak gentar, mereka tetap maju terus pantang mundur. Hanan menyuruh kepada Balya agar Balya yang maju lebih dulu. Balya pun segera maju dan ketika guru kungfu itu hampir menginjakkan kakinya di bumi, Balya langsung dengan cepat menyambar jempol kaki guru kungfu itu lalu diputar-putar di udara terus hingga berpuluh kali putaran, guru kungfu pun tak berdaya melepaskan diri dari pegangan jari-jari Balya yang sangat kuat, setelah menurut perhitungan guru kungfu sudah mengalami pusing berat, Balya membenturkan kepala guru kungfu itu ke tembok gudang hingga ia menemui ajal dan ratusan muridnya yang suka membuat onar itu lari dan meninggalkan daerah buaran untuk selamanya. Penulis menerima riwayat ini dari sesepuh desa Pengabean yang pernah mesantren di Simbang Kulon. Wallahu A'lam
(7). Mbah Amir Jadi Dua Di daerah pasar minggu Palimanan Cirebon ada ulama besar bernama KH. Masduki, beliau terkenal faqih dan qori. Ketika Kyai ini wafat Mbah Amir datang berta`ziyah disertai beberapa orang santrinya. Pada jam yang telah ditentukan oleh keluarga mayit shalat jenazah pun dilaksanakan dengan imamnya yaitu Mbah Amir sendiri. Seusai berta`ziyah Mbah Amir pun kembali pulang bersama rombongan, setelah sampai di Simbang Mbah Amir masuk rumah sendiri dan santri yang ikut barsama beliau juga kembali berkumpul di pondok dengan santri-santri lain yang tidak ikut (YTI) YTI : “Darimana saja kamu, kok tidak ikut pengajian siang?” YI : “Saya habis pergi bersama Mbah ke Palimanan.” YTI : “Untuk keperluan apa?” YI : “Berta`ziyah pada keluarga Mbah Masduki dan Mbah Amir yang mengimami Shalat jenazahnya” YTI : “Ah yang benar, jangan bohong kamu, Mbah itu tidak kemana-mana hari ini, beliau tetap mengajar, kalau tidak percaya tanya teman-teman dan lihat pula afsahan saya, ini hasil afsahan dari Mbah.” YI : “Ah, justru kamu yang bohong, mana mungkin Mbah mengajar, orang siang ini Mbah mengimami Shalat jenazah di Palimanan.” YTI : “Kalau begitu mari kita menghadap bersama ke Mbah.” Setelah Mbah Amir mendengar dari kedua kelompok santrinya, yakni kelompok santri yang ikut shalat jenazah di Palimanan dan kelompok santri yang mengaji di pondok, maka Mbah Amir kemudian berkata : “Oh, kalau begitu ajal saya sudah dekat, kalian harus bisa menyimpan rahasia ini, jangan sekali-kali kalian menceritakan rahasia ini sebelum aku meninggal”. Cerita ini rowinya mutawatir, penulis menerimanya dari banyak sumber.Wallu A'lam.
(8). Cincin Nyaris Tidak Bisa Dilepas Nyai Zubaidah binti Nyai Sabatani bercerita kepada penulis sebagai berikut : “Pada tanggal 11 Robi`ul Awal tahun 1356 H. / 1939 M. Mbah Amir dipanggil oleh penciptanya, ribuan orang pun datang malayad jenazahnya, ketika beliau akan dimandikan ada cincin yang tidak bisa dilepas dari jari beliau. Dokterpun didatangkan tetapi juga tidak mampu melepasnya, akhirnya datanglah adik Mbah Amir yang paling dicintai beliau yaitu Ny. Sabatani, ternyata Ny. Sabatani dapat melepas cincin itu dari jari Mbah Amir dengan mudah tanpa menggunakan alat apapun, Mbah Amir pun segera dimandikan di pemakaman desa Banyu Urip. Wallahu a`lam
(9). Matahari Menangis Syaikhuna Si Mbah KH. Muhammadun pernah bercerita bahwa setelah Mbah Amir diketahui wafat maka ribuan kaum muslimin melayad jenazahnya termasuk santri-santrinya yang dari luar daerah Pekalongan, mereka semua menjadi saksi bahwa Mbah Amir wafat di musim kemarau, musim yang jarang ada curah hujan, tetapi anehnya pada saat itu matahari hanya sedikit mengeluarkan sinar, itupun sangat redup, hujan pun turun rintik-rintik, seluruh jam yang ada di Pekalongan ikut mati tidak ada yang hidup, seakan alam ini meratap karena kehilangan penghuninya yang amat saleh dan berjasa besar terhadap agama dan umat. Peristiwa ini penulis mendengarnya langsung dari Si Mbah KH. Muhammadun Al-Maghfurlah saat beliau mengisi pengajian pada acara Haul Mbah Amir. Wallahu a`lam.
(10). Ru`yah Maju Sebagaimana di maklumi bahwa Mbah Amir menikah empat kali secara berurutan, pertama dengan Nyai Sukainah binti KH. Sa`id Gedongan Cirebon, kedua dengan Raden Ajeng Zahro binti Mbah KH. Shaleh Darat Semarang, ketiga dengan Nyai Sa`diyah binti KH. Sulaiman Semarang, Keempat dengan Nyai Sa`adah binti KH. Amin Benda Kerep Cirebon. Pernikahan Mbah Amir dengan Nyai Sukainah tidak berjalan lama, karena beliau tiba-tiba dipanggil gurunya Syekh Mahfudz At-Tarmasi ke Mekah untuk dinikahkan dengan Ny. RA. Zahro Semarang, sebelum menikah Syekh Mahfudz dengan segala hormat dan kerendahan hati mohon kepada Kyai Sa`id agar Mbah Amir diberi izin mencerai Nyai Sukainah, Kyai Sa`id pun merestuinya. Konon selama Mbah Amir masih di Gedongan beliau menjadi salah satu menantu Kyai Sa`id yang paling dicintai, karena disamping orangnya gagah, alim, adib juga banyak memiliki keanehan (karomah) Pada suatu saat menjelang bulan ramadhan hampir seluruh kalender yang terbit pada masa itu sudah memastikan bahwa tanggal satu bulan Ramadhan akan jatuh pada hari yang sudah ditentukan oleh kalender-kalender tersebut, umpamanya saja menurut mereka satu Ramadhan akan jatuh pada hari Ahad, tetapi Mbah Amir dengan tegas menolak pendapat mereka, menurut beliau awal Ramadhan akan jatuh pada hari sebelumnya yaitu hari Sabtu, pendapat Mbah Amir ini memancing keinginan mereka untuk menemui beliau, ketika beliau didesak mereka tentang dasar yang beliau pegangi beliau hanya menjawab insya Allah pendapat saya benar, kalau kurang percaya buktikan saja nanti, sebaiknya kita bareng-bareng saja berusaha melihat hilal pada sore sabtu, supaya kita tidak terlalu lama berdebat. Anehnya ketika hari yang ditentukan itu tiba dan semuanya sudah berada di tempat strategis untuk melihat hilal secara langsung dengan mata kepala mereka sendiri hilal pun muncul dan mereka semua dapat melihatnya dengan jelas, jadi pada tahun itu hilal maju satu hari menurut kesepakatan para ahli hisab. Wallahu a`lam.
(1). Listrik Bergoyang Sendiri Agaknya benar apa yang dikatakan oleh Syekh Abdul Qodir Al-Jailani bahwa bisa saja tahun, bulan, minggu maupun hari itu memberi tahu kepada wali (kekasih Allah) tentang apa-apa yang akan terjadi dalam masa-masa itu. Begitulah rupanya hal yang terjadi pada diri Mbah Amir, beliau sepertinya mengerti tentang diri santrinya yang tidak kerasan pada awal-awal ia datang di Pondok Pesantrennya, penulis pernah mendengar cerita Simbah KH. Muhammadun ketika beberapa hari mukim di Pondoknya Mbah Amir, beliau pada waktu itu sangat tidak kerasan, pikirannya selalu pusing dan ingin cepat pulang kembali ke kampung halaman, apa yang dirasakan Simbah KH. Muhammadun, Mbah Amir mengerti karena diberi tahu oleh lampu listrik yang memberi tahu dengan bahasa isyaratnya, lampu listrik di kamar Mbah Madun mukim selalu bergoyang-goyang meskipun tidak ada angin dan tidak tersentuh orang. Akhirnya KH. Manshur dari Jekul Kudus yang juga teman Mbah Madun soan menghadap Mbah Amir sekaligus memberi tahu tentang lampu listrik yang selalu bergoyang di kamarnya itu, kemudian Mbah Amir itu berkata : “Itu karena Muhammadun tidak kerasan mondok di sini, coba dia panggil dan suruh menghadap saya”. Demikian perintah Mbah Amir kepada santrinya Manshur. Setelah Muhammadun diberi nasehat dan dido`akan oleh Mbah Amir akhirnya dia kerasan dan anehnya setelah Muhammadun kerasan lampu listri pun menjadi berhenti bergoyang dan tenang kembali seperti biasa.
(2). Bau Wali Ketika penulis masih mesantren di Pondoan (tahun 1973-1977) penulis bersama santri-santri yang lain mendengar cerita dari Si Mbah Muhammadun bahwa pernah pada suatu hari Mbah Amir berdiri di depan rumahnya dipinggir jalan, ketika istrinya bertanya : “Kenapa berdiri terus dipinggir jalan? Jawabnya : “Saya sedang menunggu seorang wali dari kudus yaitu Mbah Yasin dan Mbah Sanusi”. Ketika istrinya bertanya lagi : “Dari mana sampean mengerti bahwa mereka akan datang hari ini?” Mbah Amir hanya tersenyum, rupanya hari yang datang di hari itulah yang bercerita kepada beliau karena saat itu belum ada telepon dan tidak ada orang yang memberi tahu termasuk tamunya yang akan datang juga tidak memberi tahu terlebih dahulu Tidak berapa lama munculah kedua tamu yang ditunggu-tunggu beliau yang tidak lain adalah Mbah Sanusi dan Mbah Yasin itu. Kedua tamu beliau pun merasa heran kenapa Mbah Amir tahu bahwa mereka akan datang, lebih heran lagi ketika Mbah Amir berkata : KHA : “Kok lama sekali panjenengan ziarah ke Makam Habib Muhammad Kendal?” Tamu : “Kok Kyai mengerti kalau kami baru saja ziarah ke Makam Habib Muh?” KHA : “Ya taulah” Tamu : “Darimana Kyai tahu?” KHA : “Dari baunya, bau sampean berdua ini persis baunya Habib Muhammad Kendal?” Tamu : “Apakah beda Kyai baunya para wali itu?” KHA : “Ya jelas beda.” Dari dialog ini kedua tamu itu mengerti bahwa betapa luar biasanya karomah Mbah Amir itu. Wallahu a`lam.
(3). Mesin Sepur Tidak Bisa Jalan Seorang khadam Mbah Amir bernama Irfan bertutur kepada penulis bahwa pada suatu hari Mbah Amir mau melakukan perjalanan ke Cirebon dengan diantar oleh khadamnya yang bernama Irfan tadi. Sebagaimana biasa Mbah Amir senang naik kereta api yang berangkat pagi jam 9, sebagaimana biasa pula setelah membeli karcis Mbah Amir berwudhu dulu kemudian shalat dhuha dan berdo`a lama sekali di mushola Stasiun Pekalongan hingga melebihi jam 9. Anehnya meskipun mesin sepur dalam kondisi baik, tidak ada yang rusak bahkan mesinnya sudah dihidupkan dan gigi sudah masuk, gas pun sudah diinjak hingga mengeluarkan suara gemuruh, tapi sepur tidak bisa berjalan hingga masinis dan semua penumpang merasa heran, anehnya setelah Mbah Amir selesai berdo`a dan beliau naik dan duduk barulah kereta bisa berjalan sebagaimana biasanya hingga MbahAmir sampai ke tempat tujuan. Wallahu a`lam.
(4). Jalan Sepanjang Kurang Lebih 3 KM Dibersihkan Sebagaimana biasa masyarakat Losari Lor, Pengabean dan Lumpur terutama kaum ibunya setiap pagi biasanya menyapu dan merapikan pelataran depan rumahnya sendiri tetapi tidak sampai membersihkan badan jalan. Anehnya setiap Mbah Amir akan berkunjung ke rumah orang tuanya dan saudara-saudaranya yang di Lumpur orang-orang yang rumahnya berada di tepi jalan dari Losari sampai Lumpur mereka tidak hanya membersihkan halaman rumah sendiri saja akan tetapi hampir semuanya membersihkan jalan yang akan dilewati Mbah Amir, seakan-akan mereka sudah diberitahu atau sudah mengerti bahwa Mbah Amir akan lewat di jalan yang mereka bersihkan itu. Setelah mereka selesai membersihkan jalan, tidak berapa lama Mbah Amir pun turun dari kendaraan dan berjalan menuju Lumpur, cerita ini penulis menerimanya dari sesepuh Lumpur. Wallahu a`lam
(5). Suara Tanpa Rupa Di saat Mbah Amir masih mengaji di Mekah yaitu pada Syaikh Mahfudz At-Tarmasi dan uama-ulama Mekah lainnya beliau pernah menegur salah seorang temannya yang selalu bikin gara-gara sehingga mengganggu beliau dan teman-teman yang lain. Ternyata teman yang mendapat teguran Mbah Amir itu merasa tersinggung, dia marah besar dan tidak bisa menahan emosi, dia pergi ke dapur dan diambilnya sebilah golok yang panjang lalu mencari Mbah Amir di kamarnya. Saat ia datang di kamar Mbah Amir, Mbah Amir tengah muthola`ah kitab karangan gurunya sambil duduk menghadap kiblat. Teman yang sedang kalap itu melihat Mbah Amir sedang duduk maka tidak pikir panjang lagi langsung membacok tubuh Mbah Amir dengan goloknya tetapi anehnya Mbah Amir saat itu tubuhnya tiba-tiba tidak bisa dilihat oleh dia, golok pun diayunkan ke kanan dan ke kiri tetap tidak mengenai sasaran, setiap kali temannya berteriak memanggil-manggil nama beliau, beliau selalu menjawabnya di tempat yang berbeda-beda, kadang di pojok timur, kadang di pojok barat dan seterusnya. Diapun tidak berhasil melukai Mbah Amir meskipun sebenarnya Mbah Amir masih tetap duduk dan bermuthola`ah di kamarnya Cerita ini penulis menerimanya dari Kyai Mahmud dari ayahnya Kyai Dawud yang mesantren bareng dengan Mbah Amir di Mekah. Wallahu a`lam.
(6). Penakluk Kejahatan Diantara sekian ratus santri Mbah Amir ada dua santri yang ditugas memberantas penjahat, mereka adalah Abdul Hanan dari Pengabean Losari dan Balya dari Tegalgubug Lor Arjawinangun. Konon pada tengah malam dua santri ini menyisir sarang-sarang penjahat di wilayah kecamatan Buaran Pekalongan, setelah penyisiran sampai di Banyu Urip mereka berdua tiba-tiba mendengar suara hiruk pikuk anak-anak muda yang jumlahnya mencapai ratusan di dalam sebuah gudang yang cukup besar tetapi terkunci mereka berdua segera mengetuk pintu gerbang gudang itu. Pintu pun segera dibuka oleh seorang laki-laki yang bertubuh kekar dengan kedua matanya yang sipit, rupanya orang inilah yang tengah melatih pemuda-pemuda cina belajar Kungfu H & B : “Mau beli gula dan kopi Bah, ada nggak disini?” GK : “Aneh-aneh saja kalian, gudang ini kan tempat latihan kungfu, bukan toko kopi. Kenapa kalian kesini?” H&B : “Oh ya, tapi itu kungfunya jelek sekali Bah, masih bagus kungfu saya. Silahkan saja dicoba kalau Babah penasaran.” GK : “Sebelum percobaan kungfu kamu dan kungfu saya, saya ingin memperlihatkan kehebatan saya dulu kepada kalian” (Lalu cina bertubuh kekar dan bermata sipit itu menyuruh anak didiknya untuk mengambil lesung yang di isi gabah, oleh laki-laki itu gabah yang ada di lesung itu ditumbuknya hanya dengan jari-jari tangannya hingga gabah itu remuk menjadi beras semua. Hanan dan Balya merasa kagum akan kehebatan laki-laki itu tapi dia pantang mundur karena tekadnya sudah kuat untuk memberantas kejahatan) H&B : “Bah! Itu sih kecil, kalau Babah bisa menghancurkan batu baru Babah bisa menandingi ilmu saya” GK : “Ah sombong kalian, mari kita langsung bertanding saja sekarang.” Hanan & Balya segera berdo`a kepada Allah mohon diberi kemenangan dengan bertawasul Mbah Amir. Ketika mulut mereka masih membaca wirid tiba-tiba laki-laki kekar itu melesat ke udara hingga mencapai ujung pohon pisang yang paling atas, sampai mereka berdua merasa ngeri terhadap kehebatan guru kungfu itu, tetapi mereka tidak gentar, mereka tetap maju terus pantang mundur. Hanan menyuruh kepada Balya agar Balya yang maju lebih dulu. Balya pun segera maju dan ketika guru kungfu itu hampir menginjakkan kakinya di bumi, Balya langsung dengan cepat menyambar jempol kaki guru kungfu itu lalu diputar-putar di udara terus hingga berpuluh kali putaran, guru kungfu pun tak berdaya melepaskan diri dari pegangan jari-jari Balya yang sangat kuat, setelah menurut perhitungan guru kungfu sudah mengalami pusing berat, Balya membenturkan kepala guru kungfu itu ke tembok gudang hingga ia menemui ajal dan ratusan muridnya yang suka membuat onar itu lari dan meninggalkan daerah buaran untuk selamanya. Penulis menerima riwayat ini dari sesepuh desa Pengabean yang pernah mesantren di Simbang Kulon. Wallahu A'lam
(7). Mbah Amir Jadi Dua Di daerah pasar minggu Palimanan Cirebon ada ulama besar bernama KH. Masduki, beliau terkenal faqih dan qori. Ketika Kyai ini wafat Mbah Amir datang berta`ziyah disertai beberapa orang santrinya. Pada jam yang telah ditentukan oleh keluarga mayit shalat jenazah pun dilaksanakan dengan imamnya yaitu Mbah Amir sendiri. Seusai berta`ziyah Mbah Amir pun kembali pulang bersama rombongan, setelah sampai di Simbang Mbah Amir masuk rumah sendiri dan santri yang ikut barsama beliau juga kembali berkumpul di pondok dengan santri-santri lain yang tidak ikut (YTI) YTI : “Darimana saja kamu, kok tidak ikut pengajian siang?” YI : “Saya habis pergi bersama Mbah ke Palimanan.” YTI : “Untuk keperluan apa?” YI : “Berta`ziyah pada keluarga Mbah Masduki dan Mbah Amir yang mengimami Shalat jenazahnya” YTI : “Ah yang benar, jangan bohong kamu, Mbah itu tidak kemana-mana hari ini, beliau tetap mengajar, kalau tidak percaya tanya teman-teman dan lihat pula afsahan saya, ini hasil afsahan dari Mbah.” YI : “Ah, justru kamu yang bohong, mana mungkin Mbah mengajar, orang siang ini Mbah mengimami Shalat jenazah di Palimanan.” YTI : “Kalau begitu mari kita menghadap bersama ke Mbah.” Setelah Mbah Amir mendengar dari kedua kelompok santrinya, yakni kelompok santri yang ikut shalat jenazah di Palimanan dan kelompok santri yang mengaji di pondok, maka Mbah Amir kemudian berkata : “Oh, kalau begitu ajal saya sudah dekat, kalian harus bisa menyimpan rahasia ini, jangan sekali-kali kalian menceritakan rahasia ini sebelum aku meninggal”. Cerita ini rowinya mutawatir, penulis menerimanya dari banyak sumber.Wallu A'lam.
(8). Cincin Nyaris Tidak Bisa Dilepas Nyai Zubaidah binti Nyai Sabatani bercerita kepada penulis sebagai berikut : “Pada tanggal 11 Robi`ul Awal tahun 1356 H. / 1939 M. Mbah Amir dipanggil oleh penciptanya, ribuan orang pun datang malayad jenazahnya, ketika beliau akan dimandikan ada cincin yang tidak bisa dilepas dari jari beliau. Dokterpun didatangkan tetapi juga tidak mampu melepasnya, akhirnya datanglah adik Mbah Amir yang paling dicintai beliau yaitu Ny. Sabatani, ternyata Ny. Sabatani dapat melepas cincin itu dari jari Mbah Amir dengan mudah tanpa menggunakan alat apapun, Mbah Amir pun segera dimandikan di pemakaman desa Banyu Urip. Wallahu a`lam
(9). Matahari Menangis Syaikhuna Si Mbah KH. Muhammadun pernah bercerita bahwa setelah Mbah Amir diketahui wafat maka ribuan kaum muslimin melayad jenazahnya termasuk santri-santrinya yang dari luar daerah Pekalongan, mereka semua menjadi saksi bahwa Mbah Amir wafat di musim kemarau, musim yang jarang ada curah hujan, tetapi anehnya pada saat itu matahari hanya sedikit mengeluarkan sinar, itupun sangat redup, hujan pun turun rintik-rintik, seluruh jam yang ada di Pekalongan ikut mati tidak ada yang hidup, seakan alam ini meratap karena kehilangan penghuninya yang amat saleh dan berjasa besar terhadap agama dan umat. Peristiwa ini penulis mendengarnya langsung dari Si Mbah KH. Muhammadun Al-Maghfurlah saat beliau mengisi pengajian pada acara Haul Mbah Amir. Wallahu a`lam.
(10). Ru`yah Maju Sebagaimana di maklumi bahwa Mbah Amir menikah empat kali secara berurutan, pertama dengan Nyai Sukainah binti KH. Sa`id Gedongan Cirebon, kedua dengan Raden Ajeng Zahro binti Mbah KH. Shaleh Darat Semarang, ketiga dengan Nyai Sa`diyah binti KH. Sulaiman Semarang, Keempat dengan Nyai Sa`adah binti KH. Amin Benda Kerep Cirebon. Pernikahan Mbah Amir dengan Nyai Sukainah tidak berjalan lama, karena beliau tiba-tiba dipanggil gurunya Syekh Mahfudz At-Tarmasi ke Mekah untuk dinikahkan dengan Ny. RA. Zahro Semarang, sebelum menikah Syekh Mahfudz dengan segala hormat dan kerendahan hati mohon kepada Kyai Sa`id agar Mbah Amir diberi izin mencerai Nyai Sukainah, Kyai Sa`id pun merestuinya. Konon selama Mbah Amir masih di Gedongan beliau menjadi salah satu menantu Kyai Sa`id yang paling dicintai, karena disamping orangnya gagah, alim, adib juga banyak memiliki keanehan (karomah) Pada suatu saat menjelang bulan ramadhan hampir seluruh kalender yang terbit pada masa itu sudah memastikan bahwa tanggal satu bulan Ramadhan akan jatuh pada hari yang sudah ditentukan oleh kalender-kalender tersebut, umpamanya saja menurut mereka satu Ramadhan akan jatuh pada hari Ahad, tetapi Mbah Amir dengan tegas menolak pendapat mereka, menurut beliau awal Ramadhan akan jatuh pada hari sebelumnya yaitu hari Sabtu, pendapat Mbah Amir ini memancing keinginan mereka untuk menemui beliau, ketika beliau didesak mereka tentang dasar yang beliau pegangi beliau hanya menjawab insya Allah pendapat saya benar, kalau kurang percaya buktikan saja nanti, sebaiknya kita bareng-bareng saja berusaha melihat hilal pada sore sabtu, supaya kita tidak terlalu lama berdebat. Anehnya ketika hari yang ditentukan itu tiba dan semuanya sudah berada di tempat strategis untuk melihat hilal secara langsung dengan mata kepala mereka sendiri hilal pun muncul dan mereka semua dapat melihatnya dengan jelas, jadi pada tahun itu hilal maju satu hari menurut kesepakatan para ahli hisab. Wallahu a`lam.
=-- e
õ
f--=
KETURUNAN MBAH IDRIS
YANG BERPRESTASI
1. KH. Umar bin Idris -
Pengabean - Losari. Mursyid Tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah
2. KH. Amir bin Idris -
Simbng Kulon - Pekalongan.Pusat Mujiz Dalailul Khoirot dan Perintis Simbang -
Pekalongan
3. M. Alawi - Cipinang
- Jakarta. Dubes RI di Afganistan
4. Izzurrohman -
Capgawen - Pekalongan. Pemangku Pesantren dan Tabib Masyhur
5. Muhammad - Bogor.
Wartawan Istana Pres Sukarno
6. KH. Amir Idris bin
Amir Idris - Wonopringgo - Pekalongan. Pengasuh Majlis Ta'lim
7. KH. Muhammadun Jundi
- Kranji - Pekalongan. Basis Pengasuh Majlis Ta'lim, Khatib dan Imam
8. KH. Ahmad bin Mas'ud
- Benda Kerep - Cirebon. Pemangku Pesantren
9. Kyai. Mishbah bin
Mu'tiyah - Lumpur - Losari. Pengasuh Majlis Ta'lim
10. Kyai. Idris bin
Mu'tiyah - Limbangan - Losari. Pengasuh PP. Al-Muhajirin
11. Kyai Moh Muslih Bin
Kyai Idris Limbangan -Losari - pengasuh PP Murottilil Qur'an AL-Muhajirin
12. Kyai Abu Bakar -
Lumpur - Losari. Tabib Penyakit Gila
13. KH. Munawir bin
Murtiyah - Ambulu - Losari. Pemangku PP. An-Nur
14. H. Mas'ud - Lumpur
- Losari. Kepala MI Darul Ulum
15. Dr. Taufiq Mulyanto
bin Alwi - Bandung. Dosen ITB
16. Rahmat bin Amin -
Podo - Pekalongan. Kepala KUA
17. KH. Yusuf Hasyim
bin Ruqoyah -Lumpur - Losari. Pengasuh Majlis Ta'lim Al-Athas
18. Drs. H. Ma'mun bin
Fatimah - Jogja. Dekan Fakultas Adab IAIN SKJ dan Team Penyusun Manasik Haji
Depag
19. KH. Masykur bin
Fatimah - Pandanaran- Jogja. Pemangku Pesantren
20. Drs. H. Badawi
-Gintung - Cirebon -Pengasuh Majlis Ta'lim
21. Zakiyah binti Aminah
- Cikancas - Kuningan -Pengasuh Majlis Ta'lim dan Madrasah Al-Hidayah
22. KH. Abdul Ghofur
bin Ramsiyah - Lumpur - Losari - Pemangku PP. Yanbu'ul 'Ulum
23. KH. Abdul Karim bin
Ramsiyah -Sengon - Tanjung - Pemangku PP. Al-Bukhori
24. KH. Hudallah -
Sengon - Tanjung - Pengasuh PP. Al-Bukhori Generasi ke 2
25. Ulin Nuha binti
Abdul Karim - Sengon - Tanjung -Pengauh Majlis Ta'lim Al-Aniq
26. K. Abdurrosyid bin
Ramsiyah - Menguneng - Batang-Pemangku PP. Al-Hidayah
27. KH. Abdul Hadi bin
Ramsiyah - Kaliwulu - Cirebon-Pemangku PP. Al-Istiqomah
28. KH. Abdul Halim bin
Ramsiyah - Lumpur - Losari-Pemangku PP. Yanbu'ul 'Ulum
29. Aliyah binti
Ramsiyah - Lumpur - Losari-Pemangku PP. Tahfidzul Qur'an
30. H. Sa'diyah binti
Zubaidah - Lumpur - Losari-Pengasuh Majlis Ta'lim An-Nahdhiyah
31. KH. Faqih bin
Sukainah -Limbangan - Losari-Pemangku Pesantren Al-Kadnawi
32. Qomaruddin bin
Zaenab -Kramat - Losari-Pengasuh Majlis Ta'lim Al-Fadlil
33. Hariri bin Kemah -
Prapag Kidul - Losari-Kepala MTs Darul Ulum Ketua Cabang NU dan MUI
34. Dr. Masyhudi -
Pecangakan - Jepara-Dosen UNU Jepara
35. H. Rifa'i bin Enah
-Purwogondo - Kepala KUA Mayong
36. KH.Manshur Lumpur -
Losari-Jepara-Kepala MI Al-Ikhlas & Rois Suryah MWC NU Losari
37. Drs. KH. Asy'ari -
Pecangaan - Jepara-Pemangku Pesantren dan Dosen UNU Jepara
38. H. Mahfud bin
Rahmah-Lumpur - Losari-Kepala Yayasan Darul Ulum
39. M. Dawud bin
Hasanah-Lumpur - Losari-KEDUBES RI di Syria
40. K. Mahmud bin
Hasanah-Lumpur - Losari-Pemangku PP. Yanbu'ul 'Ulum
41. Drs.
Muflihun-Lumpur - Losari-Kepala MTs Al-Ikhlas Limbangan
42. Ust. Farid bin
Khodijah-Gintung - Cirebon-Pengasuh Majlis Ta'lim dan Khotib Masjid Gintung
MURID-MURID MBAH AMIR
YANG BERPRESTASI
1. KH.
Muhamadun-Pondoan - Tayu - Pati - Pemangku PP. Darul Ulum, Pondoan dan Imam
serta Khotib dan Mujiz Dalailul Khoirot
2.KH. Abdul
Bashir-Jekula - Kudus-Pemangku PP. Dan Mujiz Dalailul Khoirot
3. KH. Manshur -Bareng
- Kudus-Pemangku Pondok Pesantren
4. KH.
Ma'mun-Luwungragi - Brebes-Pemangku PP. As-Salafiyah dan Rois NU Brebes
5. H.
Mahbub-Ketanggungan - Brebes-Pemangku PP. Imam serta Khotib dan Tokoh
Masyarakat
6. KH.
Thoyib-Kertasemaya - Indramayu-Pengasuh Pesantren dan Tokoh Masyarakat
7. KH. Balya-Tegalgubug
Lor – Cirebon-Pengasuh PP. Al-Anwar serta Khotib dan Tokoh Masyarakat
8. KH. M.
Irsyad-Tegalgubug Lor – Cirebon-Pengasuh PP. Al-Anwar
9. KH.
Syathori-Arjawinangun – Cirebon-Pengasuh PP. Darut Tauhid
10. KH. Mahrus
Ali-Lirboyo – Kediri-Pengasuh PP. Lirboyo
11. KH. Dawud- Lumpur –
Losari -Pengasuh PP. Lumpur
12. Dan masih banyak
yang lainnya yang tidak bisa kami tulis
SILSILAH KETURUNAN
KH. IDRIS BIN KH. AHMAD
SALEH LUMPUR KH. IDRIS I
< < istri >
>
SHO`IMAH
HALIMAH
DASIMAH
(Mundu – Cirebon)
(Banten) (Losari)
1. KH. UMAR
1. KH. UMAR
1. HASANAH
1. ABDULLOH
2. KH. AMIR
2. DABBAS
3. MARYAM (w)
3. SYU`AIB
4. IMRAN
5. TINI
6. SABTANI
7. SUKAINAH
GENERASI : KH. UMAR BIN
KH. IDRIS
KH. Umar(Hj. Asiyah /
Ny. Bakri)
(1). H. Rumi`ah(H.
Ma`ad)
1. H. Baidhowi (Hj.Fatimah)
1. Ginayati Herlina
1. Saifulloh
2. Nadzifah
2. Hj. Faridah (Maki Zayyadi)
1. Rahmi Silmi
2. Kiki Rizki
3. Nu`man
4. Silmi Salafi
5. Edy Suhaidi
(2). Hj. Khodijah (KH. Abd.Hanan)
1. H. Edy Zuhri (Hj. Muslihah)-
1.Iwan Kurniawan
2. Dewi Rif`ati
2. H. Dhofir (Hj. Andawiyah)
1. Riza -
1. Rana Hisna
2. Rahel
3. Muqorrobin
2. M. Amin -
1. Esa
2. Nadiah
3. Haris
3. Ghufron
1. Farhan Salim
2. Ismatul Maula
3. Ishmatul Ashfiya
4. Khoirul Abidin
5. Yetti Fatimah
6. Umi Hani
1. Zidan
GENERASI : KH. AMIR BIN KH. IDRIS
KH. AMIR (RA. Zahro binti KH. Shaleh - Semarang)
1. `Aisyah (KH. Amin)
1. H. Muhsin (Surtiyah)
2. Muhammad
1. Putri Sabtani
2. RA. Zahro
3. Rohmat (Huzaimah)
1. H. Amin (Hj. Malihah)
1. Fadzkurisma Rohman
2. Nadia A`isyah S.
3. Saliya Sabrina
4. Umar Mukhtar Rohmat (Maryam)
- Rohmat (Maryam)
1. Eka Hidayah (Misbahul Munir)
1. Tamera Seruni M.
2. A. Ulin Nuha
3. Anisah Oktaviani
2. Umy Salamah (Muh. Jindar)
1. Haidar
2. M. Asad
3. M. Syafi`i Ma`arif
3. Taufiq (Laila Husniati)
1. Kafa Rizqi Robbi
KH. AMIR (Sa`diyah binti K. Sulaiman Semarang)
1. Nuriyah (KHR. Jundi)
1. Maimunah (Khozin)
1.Izzurrohman (Husniyati)
1. Akrimah Hildah
2. Minhajul Afkar
3. Nila Kamalussiri
4. M. Jundirobina
5. Eva Inda Millatina
6. Arina Adilla
7. M. Arif Robbahu
8. Syauqiya Lafani
2. Ismatullah (Rofiqoh)
1. Ziyah Nawaf
2. Nabilah Safirah
3. M. Mahrus
4. Ajeng Hayuni
3.Imtinah (Faiz Zahidin)
1. Sulhan Abid
2. M. Hadziq
3. M. Badi Amali
4. M. Azmi Izzah
5. Imam Nabil
6. Ikfini Binna`ma
4.Aniqoh (Wahyudi)
1. M. Kamal Hadi
5. Hilyatul Jannah (M. Rosyidin)
1. Vina
2. Naufal
6. Lu`lu`atul Fadilah (M. Royyani)
1. Tomi Nabhani
2. M. Ihsan
7. Syafiq (Musyarrofah)
1. Rifqi Hasani
8. M. Nahdli (Yuli Ikswati)
9. Ninik Fatimah (Ali Rohili)
2. KH. Muhamadun (Hj. Yaquti)
1.Nasibatur Rofi`ah (Lizam Haqiqi)
1. Jaza`ul Ihsan
2. Roghdi H.
2. M. Isma`il (w)
3. Najah Umniyati (Ahmad Dimyati)
1. Hafidzin Muhaya
2. Sabrina
4. Abu Ishaq Al-Isfiroyini (Qonita Furoida)
5. Namiyatus Sakinah (M. Arif M.)
1. Ulfah
2. Musthofa Bisyri
6. Nawatut Tuqo (Abdul Mughni)
1.. M. Syarif
7. Syaukani
8. Hauqolatul Ulya
3. Muh. Luthfi (Ghonimah)
1. Ida As`idah (Sukarno)
1. Abdillah
2. Zainuddin
2. Faizah (Ramadani)
1. Haifani
3. Nadzirin (Sri Indah Lestari)
4. Naufal Isma`il (Gufrona)
4. Fathiyah (Abdul Qodir)
1. Mahfudzah (Abdul Hamid)
1. Naila Sita Utami
2. Hafid
3. Raihan Amanillah
2. Sulaiman
3. Nur Mahyati (Ruhan)
4. Dalhar
5. Mukhlish
5. Abdullah Aini (Nahdiyah)
1. Putri Aula Hayani (Rahani)
1. Salsabil
2. M. Faiz
3. Ahsanti
4. Amiddana
5. Rifqi Ma`arif
6.Hanum Najwa
7. Jundi Muhammad
6. Alimah (Huzairi)
1. Abdul Jawad
7. Bashiroh (KH. Aslam)
1. K. Muhammadun
2. K. Abd. Bashir
3. K. Ahmad
8. M. Amir (Masykuroh)
1. Diah Salami Hasina
2. Nu`ma Zanuba M. Amir (Maidana)
1. Mutawakkil A. M. Amir (Ishahida)
1. Rahil Nuriyah
2. Isma`il (Sa`diyah)
3. Idris (Zubaidah)
1. Badruz Zaman (Falakiyah)
1. Arinal Muna
2. Agus Sulaiman
3. Faridul Ashri
4. Fathiyah
5. M. Hasyim
6. Intan Zakiyah
7. Amiruddin
2. A`isyah (A. Muhsin)
1.
2.
3.
3. Nur Halimah (Tikrar)
1. Robi`ah
2. M. Isma`il
3. Nadiyah
4. Nur Hasanah (M. Taufiq)
1. M. Manshur
2. M. Mahfudz
3. M. Shaleh
4. M. Nurul Anam
5. Nur Aidah Fitriyati
5. A. Amir (Ayu Habibah)
1. Imro`atuz Zulfa
2. Roditu Bimasyiatillah
3. Idris
6. Sa`adah Idris (Azizah)
Idris (Aziziah)
1. Murtadho (Tuti Alawiyah)
1. J. Lathifah
2. Zaki Makasim
3. Beny Idris
4. Saniyah
4. Shaleh (Hindun)
5. Hj. Rahmah (KH. Fathani Mundu – Cirebon)
1. H. Amir
1. Maghfuroh
2. Hj. Rizqiyah
3. Hj. Rihanah
1. Ja`far Shodiq
4. Hj. Riyadhoh
5. Hj. Rif`ah (H. Usman)
1. Mumtazah
6. Hj. Rifaqoh (H. Abd. Mughni)
1. Ayu Indah Lutfiyah
KH. AMIR (Ny. Sa`adah binti KH. Amin Benda – Cirebon)
1. Khodijah (KH. Mas`ud - Benda)
1. Muthmainnah
2. Binniyah
3. KH. Ahmad
1. Muzayanah
2.
3. Kholishoh
4. Ma`rifah
2. Afiyah (K. Mahfudz)
1. Hj. A`isyah (KH. Yahya – Sumur Nangka)
1. Misbahul Munir
2. Cecep
3. Azimat
4. Fatmah
5. Shofiyah
2. Maimunah (K. Sulaiman – Semper)
1. Sufyan
2. Ni`amah
3. Sholihah
4. Najwa
5. Imas
3. Khoiriyah (Muslih)
1. Minhatul Maula
2.
3.
4. Isma`il
1. Fikroh
2. Fasihah
3. Abdulloh Mubarok
4. Mahfudz
5. Nida
6. Miqdad
5. Amir
1. Athiroh
2. Wafa
3. Ayu
4. Hasan
6. Azizi
1. Taufiq
2. Wafi
3. Mahfudz
7. Aminah (Fathuddin)
1. Ja`far
2. Durrotun Thoyibah
3. Munawwaroh
4. M. Idris
5.
8. Khodijah (Rosyidin)
1. Faishal Abd. Azizi
2.
9. Miftah (Sakinah)
1. Arsyad
2. Nizar KH. AMIR (Sukainah binti KH. Sa`id Gedongan)
1. H. Baidhowi (Hj.Fatimah)
1. Ginayati Herlina
1. Saifulloh
2. Nadzifah
2. Hj. Faridah (Maki Zayyadi)
1. Rahmi Silmi
2. Kiki Rizki
3. Nu`man
4. Silmi Salafi
5. Edy Suhaidi
(2). Hj. Khodijah (KH. Abd.Hanan)
1. H. Edy Zuhri (Hj. Muslihah)-
1.Iwan Kurniawan
2. Dewi Rif`ati
2. H. Dhofir (Hj. Andawiyah)
1. Riza -
1. Rana Hisna
2. Rahel
3. Muqorrobin
2. M. Amin -
1. Esa
2. Nadiah
3. Haris
3. Ghufron
1. Farhan Salim
2. Ismatul Maula
3. Ishmatul Ashfiya
4. Khoirul Abidin
5. Yetti Fatimah
6. Umi Hani
1. Zidan
GENERASI : KH. AMIR BIN KH. IDRIS
KH. AMIR (RA. Zahro binti KH. Shaleh - Semarang)
1. `Aisyah (KH. Amin)
1. H. Muhsin (Surtiyah)
2. Muhammad
1. Putri Sabtani
2. RA. Zahro
3. Rohmat (Huzaimah)
1. H. Amin (Hj. Malihah)
1. Fadzkurisma Rohman
2. Nadia A`isyah S.
3. Saliya Sabrina
4. Umar Mukhtar Rohmat (Maryam)
- Rohmat (Maryam)
1. Eka Hidayah (Misbahul Munir)
1. Tamera Seruni M.
2. A. Ulin Nuha
3. Anisah Oktaviani
2. Umy Salamah (Muh. Jindar)
1. Haidar
2. M. Asad
3. M. Syafi`i Ma`arif
3. Taufiq (Laila Husniati)
1. Kafa Rizqi Robbi
KH. AMIR (Sa`diyah binti K. Sulaiman Semarang)
1. Nuriyah (KHR. Jundi)
1. Maimunah (Khozin)
1.Izzurrohman (Husniyati)
1. Akrimah Hildah
2. Minhajul Afkar
3. Nila Kamalussiri
4. M. Jundirobina
5. Eva Inda Millatina
6. Arina Adilla
7. M. Arif Robbahu
8. Syauqiya Lafani
2. Ismatullah (Rofiqoh)
1. Ziyah Nawaf
2. Nabilah Safirah
3. M. Mahrus
4. Ajeng Hayuni
3.Imtinah (Faiz Zahidin)
1. Sulhan Abid
2. M. Hadziq
3. M. Badi Amali
4. M. Azmi Izzah
5. Imam Nabil
6. Ikfini Binna`ma
4.Aniqoh (Wahyudi)
1. M. Kamal Hadi
5. Hilyatul Jannah (M. Rosyidin)
1. Vina
2. Naufal
6. Lu`lu`atul Fadilah (M. Royyani)
1. Tomi Nabhani
2. M. Ihsan
7. Syafiq (Musyarrofah)
1. Rifqi Hasani
8. M. Nahdli (Yuli Ikswati)
9. Ninik Fatimah (Ali Rohili)
2. KH. Muhamadun (Hj. Yaquti)
1.Nasibatur Rofi`ah (Lizam Haqiqi)
1. Jaza`ul Ihsan
2. Roghdi H.
2. M. Isma`il (w)
3. Najah Umniyati (Ahmad Dimyati)
1. Hafidzin Muhaya
2. Sabrina
4. Abu Ishaq Al-Isfiroyini (Qonita Furoida)
5. Namiyatus Sakinah (M. Arif M.)
1. Ulfah
2. Musthofa Bisyri
6. Nawatut Tuqo (Abdul Mughni)
1.. M. Syarif
7. Syaukani
8. Hauqolatul Ulya
3. Muh. Luthfi (Ghonimah)
1. Ida As`idah (Sukarno)
1. Abdillah
2. Zainuddin
2. Faizah (Ramadani)
1. Haifani
3. Nadzirin (Sri Indah Lestari)
4. Naufal Isma`il (Gufrona)
4. Fathiyah (Abdul Qodir)
1. Mahfudzah (Abdul Hamid)
1. Naila Sita Utami
2. Hafid
3. Raihan Amanillah
2. Sulaiman
3. Nur Mahyati (Ruhan)
4. Dalhar
5. Mukhlish
5. Abdullah Aini (Nahdiyah)
1. Putri Aula Hayani (Rahani)
1. Salsabil
2. M. Faiz
3. Ahsanti
4. Amiddana
5. Rifqi Ma`arif
6.Hanum Najwa
7. Jundi Muhammad
6. Alimah (Huzairi)
1. Abdul Jawad
7. Bashiroh (KH. Aslam)
1. K. Muhammadun
2. K. Abd. Bashir
3. K. Ahmad
8. M. Amir (Masykuroh)
1. Diah Salami Hasina
2. Nu`ma Zanuba M. Amir (Maidana)
1. Mutawakkil A. M. Amir (Ishahida)
1. Rahil Nuriyah
2. Isma`il (Sa`diyah)
3. Idris (Zubaidah)
1. Badruz Zaman (Falakiyah)
1. Arinal Muna
2. Agus Sulaiman
3. Faridul Ashri
4. Fathiyah
5. M. Hasyim
6. Intan Zakiyah
7. Amiruddin
2. A`isyah (A. Muhsin)
1.
2.
3.
3. Nur Halimah (Tikrar)
1. Robi`ah
2. M. Isma`il
3. Nadiyah
4. Nur Hasanah (M. Taufiq)
1. M. Manshur
2. M. Mahfudz
3. M. Shaleh
4. M. Nurul Anam
5. Nur Aidah Fitriyati
5. A. Amir (Ayu Habibah)
1. Imro`atuz Zulfa
2. Roditu Bimasyiatillah
3. Idris
6. Sa`adah Idris (Azizah)
Idris (Aziziah)
1. Murtadho (Tuti Alawiyah)
1. J. Lathifah
2. Zaki Makasim
3. Beny Idris
4. Saniyah
4. Shaleh (Hindun)
5. Hj. Rahmah (KH. Fathani Mundu – Cirebon)
1. H. Amir
1. Maghfuroh
2. Hj. Rizqiyah
3. Hj. Rihanah
1. Ja`far Shodiq
4. Hj. Riyadhoh
5. Hj. Rif`ah (H. Usman)
1. Mumtazah
6. Hj. Rifaqoh (H. Abd. Mughni)
1. Ayu Indah Lutfiyah
KH. AMIR (Ny. Sa`adah binti KH. Amin Benda – Cirebon)
1. Khodijah (KH. Mas`ud - Benda)
1. Muthmainnah
2. Binniyah
3. KH. Ahmad
1. Muzayanah
2.
3. Kholishoh
4. Ma`rifah
2. Afiyah (K. Mahfudz)
1. Hj. A`isyah (KH. Yahya – Sumur Nangka)
1. Misbahul Munir
2. Cecep
3. Azimat
4. Fatmah
5. Shofiyah
2. Maimunah (K. Sulaiman – Semper)
1. Sufyan
2. Ni`amah
3. Sholihah
4. Najwa
5. Imas
3. Khoiriyah (Muslih)
1. Minhatul Maula
2.
3.
4. Isma`il
1. Fikroh
2. Fasihah
3. Abdulloh Mubarok
4. Mahfudz
5. Nida
6. Miqdad
5. Amir
1. Athiroh
2. Wafa
3. Ayu
4. Hasan
6. Azizi
1. Taufiq
2. Wafi
3. Mahfudz
7. Aminah (Fathuddin)
1. Ja`far
2. Durrotun Thoyibah
3. Munawwaroh
4. M. Idris
5.
8. Khodijah (Rosyidin)
1. Faishal Abd. Azizi
2.
9. Miftah (Sakinah)
1. Arsyad
2. Nizar KH. AMIR (Sukainah binti KH. Sa`id Gedongan)
GENERASI : KH. IMRAN
BIN KH. IDRIS KH. IMRAN (Shufiyah – Lumpur)
(1).Mu`thiyah (KH.
Hanbali - Lumpur)
1. K. Misbah(Amnah -
Lumpur)
1. Nuriddin
2. Nashihah(K. Hasyim)
3. Abdul Haq
4. Yahya
5. Umroh (Abdul Hakim
S.Pd.I)
6. Saro`ah
2. KH. Ma`shum
(Zulaikha - Jakarta)
1. Nur Jannah
2. Zamrani
3. Muslihah
4. Hambali
3. K. Idris (Maimunah)
1. Maftuhah (Adi
Warsadu S.Pd.I)
1. Imamul Muttaqien
2. Moh Hasyim Asy'ari
2. Ma`rifah (Ahmad
hijazi)
1. Desi Putri
Al-Musyaffa
3. Aslihah (Moh Warsum)
1. qurrotul A'yun
2. Muhammad Fur'qon
Al-Husnan
4. M.Muslih
(Muyassaroh)
1. Muhammad Dawud
5. Muhammad Sholehuddin
6. Siti Nakiroh
4. Rofi`ah (Wahidah
-Tawangsari)
1. Rokayah
2. Amir
3. Ma`muri
4. Rohanah
5. Umayah
6. Ro`aenah
7. Wakruddin
5. Bayinah (As`ad -
Lumpur)
1. Sa`dulloh
2. Syafiqul Lathif
3. Mas`adah
4. Aula Su`udi
5. Nur Sa`idah
6. Abu Amr
7. Hamidah
8. Adilah
9. Ainurrofiq
6. Baenah (Harir)
1. Isti`anah
2. Fauzan S.Pd.I
3. A. Haris
4. Istiqomah
5. Isriyati
6. Fauzi
(2).Murti`ah (H.
Mujahid)
1. K. Abu Bakar
(Kunainah)
1. Nafisah
2. A. Saleh
3. M. Ilyas
4. Laila
5. Qona`ah
6. Masruroh
7. Munajat
8. Masruhan
2. Amnah (K. Misbah)
Lihat anak-anak K. Misbah (Amnah)
3. KH Munawwir(Hj.
Qonifah)
1. Habibah
2. Luthfiyah
3. Khulashoh
4.
5.
6.
7.
8.
9.
4. Qosyi`ah Abdul
Muhith)
1. Anisah
2. Zakariya
3. Mustamid
4. Zahro
5. Waqi`ah
6. Jufri
5. H. Masyhuri (Hj.
Rofi`ah)
1. Halimah
2. Sa`diyah
3. Ja`far
4. Imam Zarkasyi
(3). Ma`unah (M.
Fathin)
1. Hj. Khoiriyah(H.
Arsyad)
1. Halimi
2. Muzni
3. Halwani
4. Afifah
5. Asmanah
6. Barizi
7. Zamroni
8. Huzamah
9. Hanafi
(4). Irfan (Kasmirah)
1. Isma`il
2. Amir
3. Sholihah
(5). Taslimah (Abas)
1. Zuhdi (Alfiyah
–Pekalongan)
1. Hisyam
2. Rohmah
3. Lathifah
4. Mahrus
5.
6.
7.
2. H Mas`ud (Faizah)
1. Uswatun Hasanah
2. Ulfah
1. Iffah (Nashihin)
2. `Azmah
3. Ulumuddin
1. Fitriyah
2. Firqotun Nashiah
4. Umdah (Kholil)
5. Ushuluddin
6. `Uzlah
7. `Urfiyah
8. Ulin Ni`mah
3. Zulaikho (Ma`shum)
1. Nur Jannah
2. Zamroni
3. Muslihah
4. Hanbali
4. Ro`ijah (Slamet –
Dukuh Widara)
1. Musthofa
2. Mujtahid
3. Ja`far
4. `Indana
5. Maryati
6. Rizqi
5. Nur Ainiyah
1.
2.
3.
4.
5.
6. Qudriyah
1.
2.
3.
4.
5.
7. Khoiron (Mu`jizah -
Pekalipan Cirebon)
1. Tashofi
2. Azmy
3. Tamyiz
(6). Akyas (Aminah)
1. Roudhoh (Washil –
Jakarta)
1. M. Aenul Yaqin
2. Nur Ishmah
3. Afiyah
4. Azzah
5. Abdulloh Wafi
2. Umar (Masyitoh)
1. A. Taufiq
2. Rofiqoh
3. Abdul Aziz
4. Umi Hani
3. Imron (w)
4. Fathmah
GENERASI : KARTINI (NY.
TINI) BINTI KH. IDRIS
4. KARTINI (NY. THINI)(Syarqawi - Lumpur)
4. KARTINI (NY. THINI)(Syarqawi - Lumpur)
1. Ma`idah (Wasmad)
1. Abdul Fatah
(Dawiyah)
1. Abdurrohim
2. Tasi`ah
3. Abdul Jalil
2. Kasmirah (Husnan)
1. Atikah (Kasmad)
1. Nur Khotimah
2. Nur Azizah
3. Qomariyah
4. Astani
5. Khafidoh
6. Masykur
7. Romadhon
8. Khumaeroh
2. Ma`muri (Satinah)
1. Fauziyah
2. Juwaeriyah
3. Muhtar
3. Muhtar
4. Abd. Hakim
5. Abd. Ghofar
6. Abd. Rozaq
3. Masyhuri (Hariroh –
Kudus)
1. Faruq
2. M. Yutsni
3. Muhammad
4. Maya
4. Hasan (Wartini)
1. Anisah
5. Husain (w) Kasmirah
(Cawid)
Kasmirah (cawid)
Kasmirah (cawid)
1. Masroh(Abdurrohman)
1. Rofi`ah
2. Romlah
3.
Rofiqoh
4. Rohanah
5. Rohmi Faroh
6. Fathulloh
7. Raihan
8. M. Na`im
3. Murtadho (Muniroh)
1. Sholihin
2. Sholihah
2. Malifah (w)
GENERASI : NY. SABTANI
BIN KH. IDRIS NY. SABTANI (KH. Abdulloh Mura`i)
1. H. Anas (Halimah
Darat – Randusari)
1. H. Alwi Anas (Endang
Samini)
1. Dr. Taufiq Mulyanto
(Shelly Fajriyati SP – Bandung)
1. Zahro Celesta
2. Anisah Sekartera
3. Chiara Inaya Husna
2. Shodiq Wicaksono ST,
MM, MENG (Dra. Hermin Aminah SP. S.Ag.)
1. Hanif Shidqi Amani
2. Hasya Hikari
3. Arif Sarwo Wibowo
ST, MT (Anita Fitriana ST, MT)
1. Ariq Muzakki
2. Nasyath (w) H. Anas
(Suryamah)
1. Washil
2. Sarah (Dr. Isma`il
Lubis – Yogyakarta)
1. Nabilah S.Ag (Kapten
M. Zulfikar)
1. Elfa Al-Falah
2. Mafaza
3. Rizki
4. Fadhilah
2. Difla M.Si. (Bustami
K. SP)
1. Rasoki Nabahat
2. Naura Olivia
3. Dr Asnat (Imbalo
Oloan ST)
1. Sonya Siluwani L.
2. Togu Mulya Lubis
3. Aliya Toluna Lubis
4. Ade Nasibah S.Pd.I
(Brigadir Toni Purwanto SIP, MM)
1. Lubna Syifa Nobel
5. Sutan Porkas (Ika)
1. Rizki Kurnia Putra
2. Ibrohim Kholil
6. Leo Perwira Yuda S.E
1.
2.
7. Philare Shafia SP
1.
2.
8. Najiah Mabruroh
1.
2.
9. Aficena Muhamad
1.
2.
2. H. Amin (A`isyah –
PKL) Lihat anak-anak A`isyah (H. Amin)
3. Ruqoyah (Hasyim)
1. Salimah (Abdul
Wahid)
1. Asymawi
1. Rotipah
2. Muhajiroh
3. Ali Usman
4. M. Furqon
2. Asymu`i
1. Rihanah
2. Roudhoh
3. Nihlatul Afiyah
4. Naeli
5. Ahmad Syifa
3. Amir (Sa`adah)
1. Rif`an Riziq
2. Naulis Isytimaya
2. KH.
Yusuf(Hindun)
1. Syarifuddin
1. Muhammad faiz fajar el-hikam
2. muhammad fikri farhan huda
3.Nida
4. Ning Hidayati furaeha
5. Naela afidatus syifa
6. muhammad fadlan fatir hayyi
1. Muhammad faiz fajar el-hikam
2. muhammad fikri farhan huda
3.Nida
4. Ning Hidayati furaeha
5. Naela afidatus syifa
6. muhammad fadlan fatir hayyi
2. Mahmudah
1. laeli awaliyah (alm)
2. Mumun maemunah
3. Ibnu
4. Muhammad Arwani
1. laeli awaliyah (alm)
2. Mumun maemunah
3. Ibnu
4. Muhammad Arwani
3. Mashfufah
1. Ata Darojatul ulya
2. Muhammad Ainun NAjib
1. Ata Darojatul ulya
2. Muhammad Ainun NAjib
4. Maghfiroh
1. Abdul Muiz
2. Abdul Baist Mubarok
1. Abdul Muiz
2. Abdul Baist Mubarok
5. Jamaluddin
6. Mahfudhoh
1. Lutfiyana Zulfa
1. Lutfiyana Zulfa
3.A`isyah (Rumli)
1. Azizah
2. Adilah
3. Raihan
4. Ashfariyah
5. Rohmat
5. Rohmat
6. M. Aqil
9. Qosim
7. Amirah
8. Ayip
10. Ali
4. Yunus (Muniroh)
1. Syarifah
2. Musyarrofah
3. Abdul Haris
4. Sa`adah
5. Isti`anah
6. M. Amin
5. Ilyas (Hamidah)
1. Muhammad
2. Ahmad
3. Khoirul Anwar
4. Fathimah (H.
Muhamad)
1. H. Musri`ah
(Muhammad Kufu)
1. Ulwiyah (Prof. Dr.
Baidhowi)
1. Dra. Evi S.Ag (Dr.
Yuan Ariawan Kusuma)
1. Nasya Ameera
2. Much. Rayhan
3. Hanna Nagatita
2. Dra. Elly Jihan (Dr.
Yunan Ardi Suwiji)
1. Difan Naufaldi
2. Faizah Ardilah Z.
3. M. Faiz Realdi
3. Luthfi S.Pd. (Irani
Fajriani S.Ag)
1. Alif Izzi Muhammad
2. Drs. H. Ma`mun
(Mariyah)
1. Ir. Abd. Rohman
(Diah Istiarini SE)
1. Titian Ulil Hikam
2. Ausa`a Mutiara
2. H. Usman M.M (Hj.
Nurita Hidayati M.M)
1. Salma Auriga A.
2. Hakiki M. Alif
3. Nur Farhati S.Ag (H.
Dr. Saifuddin Jamil S.P Rad)
1. Afiah Farihna (Anak
Angkat)
4. Surya Musyarofah SS
(Hasan Su`aidi M.Si)
1. Fiki Jazilatuz Z.
2. Firli Akifa Bilbirri
3. Fadaukas A.M
5. Aisyah Zubaidah S.Ag
(Dr. Mutam-mam M.Ed)
1. Roissa Hadiyah
6. A. Zaki Ali S.Thi
(Dra. Ika Pratiwi)
7. Inayati Fatimah (M.
Bagus Sekar Alam M.Si)
1. A. Nawaf Hisan
8. N. Halimah S.P
(Ubaidillah M.Hum)
9. M. Qadhafi (Afifah
Rahmawati S.Kom)
10. Syafawi A. Qadzafi
3. KH. Masykur
(Sukainah)
1. Hj. Ainun Hikmah
M.Pd (Hj. Jazilus Sakha M.A)
1. Rihwan Mufidi
2. Rihwa Arija
2. H. Arif Hakim S.Hi
3. H. Ali Hifni S.Kom
4. H. M. Fif`at
4. Masyhadi (Nafisah)
1. Tho`ah
2. Idham
3. Firdaus
4. Tribakti
5. Umi Kaltsum Masyhadi
(Masri`ah)
1. Agus
5. Drs. H. Badawi (Aam
Amiyati)
1. Hilyatul Auliya
2. Zuhuruz Zarqo
3. Ifta Ainun Nida
4. Dlia Nahdhatina
6. Dra. Hj. Fatihah
(Drs. H.A. Mu`in)
1. Ihda Naufani B
2. Nailun Ni`am
3. Nur Istiqomah
4. Ihya Ma`rifah
Ramsiah (M. Zawawi – Lumpur)
1. Saudah (K. Abdullah)
1. H. Hamzah Z. (Hj.
Fatimah)
2. Iskandar Farihin
(Ainiyah)
1. Izah Ayu Elfafani
2. Qiqi Amalia
3. Isye Niqoyah
4. Silmi Fidyati
5. M. Daniel Syiva
6. Safna Hazzati
3. Farihah
(Abdurrohman)
1. Saifulloh
2. Umi Kultsum
3. Ulil Albab
4. Nurul La`ali
5. Manarul Huda
6. Maryam
4. Fathullah S.Pd.I
(Minhatul Khoiriyah – Jakarta)
1. Abdul Wahab
2. Umi Hani
3. Umi Salamah
5. Hanna (K.
Shofiyuddin)
1. Fudla Nisa M.
2. Abdullah Awab
3. Abdullah Bahij
4. Khoirun Nisa
5. Abdullah Jamal
6. Abdullah Dihya
2. Hj. Aminah (K.
Mahmud)
1. Zakiyah (KH. Khodir
– Kuningan)
1. Hidayatullah
2. Labib Sa`id (w)
3. M. Ahsin
4. Ibrahim
5. M. Fatih
6. Amaliyah
7. Fadil Muhammad
2. Dawud (w)
3. K. Sofiyuddin
(Hanna) Lihat anak-anak Hanna (K. Shofiyuddin)
4. Munifah (K. Abdul
Jalil)
5. KH. Luthfi Sa`id
(Hj. Khuroiqotus Sufya – Pekalongan)
1. Abdullah Wafi
2. Yasmin
3. Abdullah Ayyasy
6. K. M. Najib (Ulil
Ulya)
1. Luna Hafshoh
3. KH. Abd. Ghofur (Hj.
Khodijah)
1. KH. Muhammadun
(Hamidah)
2. K. Ma`shum
(Fauziyah)
3. K. Harun
4. Hamdanah (KH.
Muhtadi Mubarok – Benda)
1. M. Shaleh
2. Tohirotul M. (w)
3. Shadiq
5. K. Maemun
4. KH. Abdul Karim (Hj.
Hindun – Tanjung)
1. KH. Hudallah
1. Halimatus Sa`diyah
2. Ulwiyatul Yumna
3. Faridatul Ashriyah
4. M. Naqib
2. KH. Ni`amullah
1. Minahus Saniyah
3. Ulin Nuha
(Itsbatuddin)
1. M. Aniq
2. Aisyah
3. Ahid
4. Ahmad
5. Aufal Marom
6. Inaroh
4. Ulil Izzah
(Kholilurrohman)
1. Nafisah
5. Habibulloh
(Isti`anah)
6. Ulir Rif`ah
7. Ulis Syafa`ah
8. Maslahah
9. Najiyullah
10. Munjiyah
11. Nihayah
KH. Abdul Karim (Hj.
Naqiyatul Khoto)
1. Ulil `Ulya (K. M.
Najib)
1. Luna Hafshoh
2. Ulis Syifa
3. Aminullah
4. Hamidah
5. Nawawi
6. M. Sa`id
7. Nuriyah
5. K. Abdurrosyid
(Maslihah)
1. Abidah
1. Nailatul Ulya
2. Yunus
3. Minhatus Saniah
4. Nadzifatus Sariroh
2. Arwani
3. Faidhul Mu`izah
1. M. Fatih
2. M. Yusuf Nabhani
4. Nurul Ishmah
1. M. Atabik
5. Bahauddin
6. Abil Hasan
7. Robi`tul Adawiyah
8. Rofi`
6. KH. Abdul Hadi (Hj.
Fathmah)
1. Yuhanidz
1. Hirzi
2. Fawaz
2. Sa`duddin
3. Afnan Hafidz
4. Hilyatul Auliya
5. Nailin Najah
6. Najihah
7. Muhammad
7. KH. Abdul Halim (Hj.
Isti`anah)
1. M. Nabih
2. Nafidzatin
Nadhor(Ahmad Amal - Madura)
3. M. Najih Ramadhan
4. Nadzifah
5. Muhammad
6. Nafisah
8. Aliyah
6. Ro`isah (K. Faqih)
1. Maimunah (Idris)
Lihat anak-anak Idris (Maimunah)
2. Dahlan
1. Iqbal
2. Dewi
3. Ali
3. Baqir (Zuhriyah)
1. Dewi Asiyah
(Nahrawi)
1. Rusydah
2. Salimah
3. Ghidza
2. Dewi Aisyah
3. Dewi Azizah
4. Tis`atuz Zahro
5. Aliyatuz Zahro
4. Shafiyah (Usroni)
1. Syarifuddin
2. Umi Kultsum
3. Farid Amrullah
4. Roudhotul jannah
7. Zubaidah
1. Hj. Sa`diyah (H.
Badrun)
1. Usman S.Pd.I
GENERASI : NY.
SUKAENAH BINTI KH. IDRIS NY. SUKAENAH (Kadnawi)
1. KH. Faqih (Aisyah
Dahlan)
1. Zainab (Fadil)
1. Imamuddin
1. Saifuddin 1. Rudi
2. Munfakhiroh 1. Yusni
2. Izzah
3. Mu`jizah 1. Lugni H
4. Amrulloh
5. Aniq A.
2. Khoiruddin
1. Aisyah
2. Musfiroh
3. Maslihah
4. Maftuhah
5. Inayah
1. Aisyah
2. Musfiroh
3. Maslihah
4. Maftuhah
5. Inayah
3. Zainuddin
(Fauzah)
1. Umi Kultsum
1. Umi Kultsum
4. Hasanuddin (Zajiroh)
1. Mukhlish
2. Khirniqoh
1. Mukhlish
2. Khirniqoh
5. Nuruddin (Muniroh)
1. Fitriyah
6. Qomaruddin (Ulfatun)
1. Hilmy 2. Hizby 3. Hilyah
7. Abuddin (Anisah) 1.
Fikri 2. Arifah
8. Muhyidin (Nur
Hayati) 1. Zulfa 2. Rafah 3. Syifa 4. Shafa 5. Khadziq
9. Syaikhuddin (Aisyah
– Kluwut) 1. Aliyah 2. Shalli
10. Muhammadin
11. Fatihah 1. Miftahus
Surur 2. Dini
2. Kemah (H. Arsyad)
1. Alfiyah (Zuhdi)
Lihat anak-anak Zuhdi (Alfiyah)
2. Nadhiroh (Tohir)
1. Saudah
2. Sa`inah
Kemah (Abdul Manan)
1. Hariri
1. Taufiq
2. Maftuhin
3. Shofi
4. Nashrullah
3. Abdul Muhith
(Qosyi`ah) Lihat anak-anak Syi`ah (Abd. Muhith)
KH. Faqih (Ro`isah)
Lihat anak-anak Ro`isah (KH. Faqih)
2. Ainah (Sajid)
1. Sa`imah
1. Raenah 1. Turmudzi
2. Tasi`ah
1. Shodiqin
1. Abdurrohim
2. Hanifah
3. Inayati
4. Luthfiyah
5. Baihaqi
6. Sirajuddin
7. Alwi
2. Maqshudi
1. Tajusy Syarof
2. Ufiati
3. Hildah R
4. Hasani
5. Ais Sa`id
3. Fashihah (K. Mansur)
1. Nur Aini (S. Zuhri)
1. I`anah
2. Hilyah
3. Fitrah
2. Ahmad (Titin)
1. Tuti
3. Muhammad
(Muyassaroh)
1. Afza
4. Minhatul Maula (Tri
Wahyudi)
1. Mustafi-dah
5. Zumairo (Abdul
Hakim)
6. Futiha (Bahrul
Muhith)
7. Kholilah
8. Arif
9. Ulis Syafa`ah
10. Ni`mal Hana
4. Mustahdi
5. Mahfudz
3. Abd. Muhaimin
(Hafshoh)
1. Ma`mun
1. Rifqi
2. Hilyatul Auliya
3. Bahauddin
4. Yusril
2. Muntaha
1. A. Sholihul Hadi
2. Ali Shodiq
3. Naila Rohmi
3. Masyhudi
1. Azka Zidna KH.
2. Rosyikh Fil `Ilmi
3. Syamilah
4. Ma`nawiyah
1. N. Rif`atun
2. M. Azwar
3. Turaihan Ajhuri
4. Zubaidah
5. Mustholihuddin
5. Ulwiyah
1. Mahmud
2. Abd. Hamid
3. Af`idah
6. Mas`udah
1. Lulu`ul Ainiyah
2. Fikriyah
3. Fadli
7. Hamidah
1. Labibah
8. Muhyiddin
1. Rizal
4. H. Rifa`i (Hj.
Fathonah)
1. Jazuli
2. Ulfah
3. Ulyana
4. Ubaidilah
5. Umdah
6. Fahmi
7. Saifuddin
8. Aliyah
9. Mahbub
5. H Mansur
1. Farhatun
2. Inayah
3. Nafis Atho`illah
4. Ulin Ni`mah
5. Zaky Yamani
6. N. Faiqoh
7. Nasyith
8. Nailah
9. Khoirun Ni`am
10. M. Ali
6. M. Toha
1. Rizkiyah
2. Mushtofa T.
3. Halimi
4. Sholhatin
5. Atiq Fauzi
6. Aminuddin
7. Drs. KH. Asy`ari
1. Husni Arafat
2. Asni Furaida
3. Azmati Azma
4. Nabilah
5. Fathi
GENERASI : NY. HASANAH
BINTI KH. IDRIS NY. HASANAH
(KH.Dawud bin Mas`ud
bin Syam bin Nasim)
1. H. Rahmah (KH. Abd.
Wahab)
1. Hindun (KH. Yusuf)
1. Syarifuddin
2. Mahmudah
3. Mashfufah
4. Maghfiroh
5. Jamaluddin
6. Mahfudhoh
2. Hj. Faizah (H.
Mas`ud) Lihat anak-anak H. Mas`ud (Hj. Faizah)
3. H. Mahfudz (Tamimah)
1. Anisah
4. Mahbub (Musfiroh)
1. Ahnaf
2. Muhammad (Nadia
Abdul Majid)
1. Ahmad
1. Putri Nailin Nofar
2. Jamal
3. Syamir
4. Muna
2. Jamal
3. Ahmad (Mushlihah)
1. Mas`udah
2. Hamzah
3. Sofiyulloh
4. Kholilurrohman
(Umdah)
5. Shaleh
6. Abu
4. Mahmud (Hj.Aminah)
Lihat anak-anak Hj.Aminah (K. Mahmud)
5. Hammad (Taslimah)
1. Atho`illah
1. Nilal Muna
2. Nafisah
2. Idris
1. M. Aniq
2. Naila
3. Naili
3. Ulfatun (Qomaruddin)
Lihat anak-anak Qomaruddin (Ulfatun)
4. Rif`atun
(Kastholani)
1. Ismah
2. Ashimah
5. Ghozali (Toyibah)
1. Abdurrosyid
6. Muflihah
1. Ulil Albab
7. Isma`il
6. Rodhiyah (Sa`id)
1. K. Afif (Asiah)
1. Aruj
2. A. Ghilman
3. Afaf Izzah
4. Usamah Ibrahim
2. Drs.Muflihun (Erna)
1. Amiqul Fahmi
2. Aniq Faiq
3. Azimatul Azmi
4. Arifatul Azmi
5. Atiqotul Azmi
7. Mardiyah (Abd.
Ghoni)
1. Mu`jizah (Drs. H.
Khoiron)
1. Tashofi
2. Azmi
3. Tamyiz
2. Drs. Maghfur
3. Ma`rifah
8. Hj.Khodijah (H.
Bunyamin)
1. K. Farid (Sumairo –
Gintung)
1. Adham
2. M. Adib
3. Adnan
4. Hainunah
Hj.Khodijah (KH. Abdul
Ghofur Lihat anak-anak KH. Abdul Ghofur (Hj.Khodijah)
Catatan : Mohon maaf
apabila terdapat banyak kesalahan penulisan atau kekurangan pada data silsilah
keturunan Mbah Idris
PENUTUP
Akhirnya usaha kami
merajut bilah-bilah keluarga Bani Idris yang saat ini jumlahnya sudah mencapai
ribuan dan tercecer hampir hampir di seluruh tanah air bahkan di luar negeri
dan bahkan ada yang nyaris hilang kini berhasil juga. Buku silsilah Bani Idris
yang telah diterbitkan ini merupakan salah satu bentuk usaha kami untuk lebih
menarik rasa persaudaraan antara sesama keluarga Bani Idris lebih ke dalam
lagi, dengan lebih mengenali asal usul keturunan diharapkan akan meningkatkan
kerja sama khususnya di bidang pendidikan, ekonomi dan hal-hal positif lain.
Bagi keluarga besar semacam keluarga Bani Idris ini tentu saja silsilah
merupakan sebuah informasi yang sangat berharga karena berhubungan dengan asal
usul kekerabatan. Buku silsilah Bani Idris ini dahulu memang pernah ditulis
oleh salah seorang dari keluarga Bani Idris ini namun dengan format yang sangat
sederhana dan sangat tidak lengkap dan tidak dicetak. Sedangkan buku silsilah
yang kami tulis ini merupakan refisi dan pembetulan serta penambahan data yang
sangat dibutuhkan yang belum tercatat pada buku sebelumnya. Kami berusaha keras
untuk melengkapinya dengan disertakan pula fhoto-fhoto benda menumental
peninggalan Mbah Idris seperti Masjid, Rumah asli beliau, Tasbih Beliau,
termasuk nama-nama Dzurriyyah beliau yang berprestasi.